Sesuai hoby saya jalan-jalan tanpa tujuan untuk mengetahui sesuatu atau saya lebih senang menyebutnya sebagai jalan-jalan sesat, maka aku juga suka buku-buku petualangan. Nah, kali ini aku akan membahas buku sejarah petualang dunia terbaik yang pernah aku baca. Kebetulan aku sudah membaca sebagian buku petualang-petualang dunia, seperti Marcopolo. Sudah aku baca juga buku karya Fazham Fadlil yang berjudul Mengejar Pelangi di Balik Gelombang, yakni kisah pelayaran putra Indonesia seorang diri menggunakan perahu layar dari Amerika ke Indonesia.
Buku Mengejar Pelangi di Balik Gelombang |
Aku juga suka dengan Ibn Battuta, pengelana Muslim Abad ke-14. Battuta mengembara selama 30 tahun mengunjungi negeri-negeri jauh di Afrika, hingga India di Asia Selatan dan China di Asia Timur. Dia menulis buku “Ar- Rihla” (Perjalanan) yang tak akan pernah bosan untuk dibaca. Kemudian buku The Malay Archipelago, buku The Malay Archipelago adalah sebuah buku yang ditulis oleh seorang naturalis berkebangsaan Inggris, Alfred Russel Wallace yang berisikan petualangan keilmuannya, selama 8 tahun penjelajahannya di bumi Nusantara.
The Malay Archipelago |
Aku juga sudah membaca buku "The Motorcycle Diaries” nya Che Guevara untuk memperkuat keyakinan tentang metode perjalanan dengan sepeda motor. Dengan bersepeda motor, kita akan mengenal banyak orang dan problem-problem nyata mereka. Tapi, dari semua buku yang kubaca, paling aku suka adalah dua buku: “Mengejar Pelangi Di Balik Gelombang” karya Fazham Fadlil dan “The Malay Archipelago” karya Alfred Russel Wallace.
Buku Mengejar Pelangi di Balik Gelombang
Siapa pernah membaca buku “Mengejar Pelangi di Balik Gelombang” karya Fazham Fadlil yang dicetak pertama kali tahun 2004? Buku ini adalah karya pria yang akrab disapa Sam untuk mengejar mimpinya berlayar seorang diri dari Amerika Serikat untuk kembali ke kampung halamannya di Indonesia. Dari New York, Sam menempuh perjalanan menuju Jakarta dengan perahu layar. Panjang perahu bernama Stray ini tak lebih dari 12 meter. Saat itu tahun 1992 ketika dirinya mengarungi lautan dunia sendirian selama lima bulan lamanya.
Sampul belakang buku Mengejar Pelangi di balik Gelombang |
Fazham Fadlil mencampakkan kehidupan nyaman 20 tahun di New York, untuk kembali ke kampung halamannya, di Kepulauan Riau, menggunakan kapal layar kecil melintasi Samudra Pasifik seorang diri. Pengetahuan dia tentang kapal, navigasi laut, keberanian dan filosofinya tentang laut sangat luar biasa.
Kapal Stray yang dipakai Sam berlayar dari New York ke Tanjung Priok |
Sebelum berangkat, Sam mengecek seluruh kondisi Stray dan perlengkapan, mulai makanan, alat navigasi, sekoci, tali-tali, hingga peta yang isinya memuat jalur yang akan ditempuh. Tak ketinggalan ratusan buku berbagai genre yang ia masukan ke dalam kapalnya. Sejak kecil Sam memang sangat gemar membaca buku.
Awalnya Sam mencoba berlayar dari pelabuhan di New York saat musim dingin Desember 1992. Namun usahanya gagal karena Stray dihantam badai. Tapi bukan Sam namanya kalau menyerah di tengah jalan. Juni 1993, ia melanjutkan kembali pelayarannya. Musim telah berganti dan meninggalkan dinginnya salju. Pelayaran ini melewati rute panjang: Samudra Atlantik, Laut Karibia, Terusan Panama, lalu masuk ke lautan paling luas di dunia, Samudra Pasifik. Setelah itu, barulah Stray memasuki perairan Indonesia.
Peta perjalanan kapal Sam selama lima bulan berlayar dari New York hingga Tanjung Priok |
Dalam buku ini Sam menulis terusan Panama masih sekitar 2.000 mil lagi. Tapi global positioning system (GPS) atau alat bantu navigasi kapal mati. Ini tentu mempersulit Sam menentukan posisi di laut. Tetap tenang, ia mengambil buku Emergency Navigation karya David Burch. Buku ini membahas teknis menentukan posisi di laut tanpa bantuan kompas, sextant, dan alat navigasi modern lainnya. Sam mempelajari teknik menggunakan matahari, bulan, bintang sebagai penunjuk arah.
Stray bergerak masuk ke Terusan Panama dan kemudian memasuki Samudra Pasifik, yang luasnya hampir 30 persen dari permukaan bumi. Perjalanan melintas Samudra Pasifik menyenangkan bagi Sam karena tergolong tenang tanpa hambatan berarti. Ia juga disuguhi berbagai pemandangan menakjubkan. Hampir setiap hari lumba-lumba mengiringi Stray, meloncat melakukan gerakan akrobatik.
Sam akhirnya tiba di perairan Indonesia dan bersandar di Bali. Ia sempat harus berurusan dengan petugas karena masuk tanpa kelengkapan izin. Ketika sampai di Indonesia, ia tak memiliki uang rupiah sepeser pun. Di Bali ia segera menelepon ibunya. Sang ibu kaget bukan main. Sang ibu nggak tahu kalau selama ini Sam nggak menghubungi karena sedang berlayar.
Jika kita ingin meyakinkan diri bahwa “nenek-moyang kita orang pelaut”, Fadlil mungkin satu dari sedikit saja bukti dan pewaris sah dari ungkapan itu yang masih hidup.
Buku The Malay Archipelago
“Kepulauan Nusantara” adalah judul buku terjemahan karya Alfred Wallace (1823-1913), seorang pengamat alam asal Inggris. Judul asli buku itu “The Malay Archipelago”, terbit pertama kali 140 tahun lalu, dan terus diterbitkan hingga sekarang, menjadikannya salah satu buku klasik terpenting. Buku itu merupakan buah perjalanan Wallace selama delapan tahun mengunjungi pulau-pulau Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan (Borneo), Sulawesi, Maluku dan Papua. Tak berlebihan menyebut buku ini buku terpenting tentang sejarah alam dan manusia Nusantara yang paling lengkap sampai sekarang.
Dikenal sebagai biogeografi, Wallace mengumpulkan dan mengawetkan contoh flora-fauna dari pulau-pulau yang ia kunjungi. Dari situ Wallace antara lain menyimpulkan adanya perbedaan nyata ciri-ciri fauna dan manusia di barat dan timur Indonesia, yang dipisahkan oleh sebuah garis imajiner. Garis itu kita kenal sebagai Garis Wallace sekarang, antara Kalimantan dan Sulawesi, antara Bali dan Lombok.
Satu risalah Wallace ditulis dari Ternate, Maluku, pada 1858, yang belakangan dikenal sebagai “Surat dari Ternate”. Di situ dia menyebut tentang “seleksi alam dalam proses evolusi” bahkan sebelum Charles Darwin. Banyak orang percaya, Wallace lah, bukan Darwin, yang lebih berhak menyandang gelar Bapak Teori Evolusi.
Wallace tak hanya menulis tentang tumbuhan dan hewan. Dia juga membahas adat istiadat serta dinamika politik-ekonomi Nusantara di bawah kolonialisme Belanda Abad ke-16.
Meski aku suka banget dengan buku ini, namun aku tak sepenuhnya setuju dengan pandangan Wallace, yang kadang berbau rasis dan terlalu memuji Pemerintahan Hindia Belanda. Namun, membaca karya Wallace membuat kita menyadari, atau mengingat kembali, tentang kekayaan dan keragaman tak hanya flora-fauna tapi juga adat, suku dan manusia Nusantara. Itulah kesadaran yang menjadi landasan penting bagi kehidupan bangsa kita sekarang dan di masa mendatang.
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.