Malam ini, kita ngobrolin klitih di warung kopi, dalam perbincangan ini aku yakin klitih tidak muncul secara tiba-tiba dan bukan kriminal murni, pasti ada motif tertentu. Motifnya apa? Bisa jadi untuk jati diri kelompok, rekrutmen pimpinan atau anggota baru. Aku meyakini ada indoktrinasi yang diberikan secara konsisten oleh para aktor atau senior di belakangnya sehingga membuat para pelakunya berani melakukan aksi kekerasan di jalanan.
Stop klitih |
Asal Usul Klitih
Hingga saat ini masih banyak yang penasaran dengan asal - usul klitih. Sebenarnya sih dalam bahasa Jawa, klitih bermakna suatu aktivitas mencari angin di luar rumah atau mudahnya kita sebut keluyuran. Namun, dalam dunia kekerasan remaja Jogja, pemaknaan klitih kemudian berkembang sebagai aksi kekerasan dengan senjata tajam atau tindak-tanduk kriminal anak di bawah umur di luar kelaziman.
Dimulai dari keributan satu remaja beda dengan remaja yang lain, lalu berlanjut dengan melibatkan komunitasnya masing-masing. Aksi saling membalas pun terus terjadi, berulang, seperti sengaja dipelihara turun temurun. Persoalannya, motif klitih amat beragam dan yang mengerikannya lagi, korban mereka bisa jadi amat random dan banyak korban berasal dari masyarakat yang sedang melintas di jalan malam hari.
Nah, dengan melihat kondisi tersebut, penanganan klitih tidak akan cukup jika sekadar memberikan sanksi hukuman kepada pelaku yang tertangkap. Pihak berwajib harus berusaha mencari penyebab dengan menelusuri siapa yang berada di belakang aksi kejahatan jalanan tersebut.
Sejarah Premanisme di Jogja
Lepas dari masalah klitih yang hingga kini masih juga menghantui warga Jogja, sebenarnya Jogja punya catatan premanisme yang cukup panjang. Di sini saya hanya membahas sejarah premanisme di Jogja saja, saya tidak bicara antara klitih dan gang legendaris di Jogja saling bertautan. Jadi pada awal 1980-an, Yogya menjadi lokasi dimulainya kebijakan Presiden Soeharto untuk menggebuk para preman. Kebijakan yang dinamakan dengan istilah “penembakan misterius” (“petrus”) tersebut menyasar bromocorah kelas teri hingga sembarang orang bertato yang tidak jelas betul apa profesinya. Kejadian ini kemudian menyebar ke seluruh Jawa, dengan jumlah korban yang cukup banyak di era itu.
Kebijakan tersebut semula ditujukan agar memberi rasa aman kepada masyarakat. Namun, sesungguhnya itu hanyalah dalih lain untuk menciptakan gelombang ketakutan demi menguntungkan kelompok penguasa Orde Baru. Hal tersebut diakui sendiri oleh Soeharto dalam autobiografinya. Ia menyebut aksi “petrus” yang terjadi pada 1982-1983 itu sengaja dilakukan secara sadar, lewat eksekutor para tentara, sebagai “shock therapy”.
Kelak, para gali atau gabungan anak liar akan digunakan sebagai vigilante untuk melancarkan proyek-proyek ekonomi Orde Baru. Kantong-kantong kekuasaan preman tertentu, yang mendapatkan perlindungan negara, kemudian bermunculan di Yogya, salah duanya di Kampung Badran dan Terban. Seiring perkembangan kota ke arah utara, tempat kampus dan hiburan bermekaran, muncul pula kelompok preman baru yang mengubah peta kekuatan jalanan.
Dalam sejarahnya, di Jogja terdapat dua geng yang sudah sekian lama berseteru. Satu kubu bernama QZRUH, akronim dari “Q-ta Zuka Ribut Untuk Hiburan” (sering ditulis QZR atau pengikutnya mengaku 'cah Qezer), dengan membangun sentimen di kawasan utara.
Kubu lain bernama JOXZIN, kependekan dari “Joxo Zinthing” atau sebutan lain “Pojox Benzin” (cukup dikenali sebatas JXZ atau 'cah 14), dengan memainkan sentimen di selatan Jogja. Di era Orba, geng ini berafiliasi atau dipakai oleh partai politik sebagai basis massa, yang mewakili spektrum Islam dan nasionalis. Mereka biasa unjuk diri di jalanan dengan menggelar konvoi saat acara-acara politik.
Kayaknya cukup sampai di sini saja cerita sejarah premanisme di Jogja. Dari sini bisa kita ambil kesimpulan Yogyakarta adalah kota yang paradoks. Di satu sisi, Jogja dikenal sebagai kota pelajar dan juga salah satu sentra turisme di Indonesia yang menawarkan wisata budaya dengan slogan “Jogja Berhati Nyaman”. Sementara di sisi lain, kota ini juga lekat dengan sejarah premanisme yang berdarah-darah.
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.