09 Januari lalu, pesawat PK-CLC Sriwijaya Air SJ 182 mengalami kecelakaan di sekitar Kepulauan Seribu. Banyak analisa berkembang baik di media cetak, elektronik maupun di media sosial oleh para netizen. Saya sendiri lebih tertarik dengan misteri kecepatan jatuh dari pesawat Sriwijaya Air yang datanya saya ambil dari hasil rekam jejak penerbangan yang dirilis Flightradar24. Fligtradar24 adalah situs pelacak penerbangan yang mengkombinasikan data dari Automatic Dependent Surveillance-Broadcast (ADS-B), Multilateration (MLAT), dan data radar. Ketiganya diagregasi dan dikombinasikan dengan jadwal dan status penerbangan dari maskapai dan bandara untuk menghasilkan rekam jejak. Untuk hasil akuratnya tentu ada pada data rekam penerbangan dari pesawat (FDR) yang kini tengah diteliti Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
3 jalur penerbangan terakhir pesawat Sriwijaya Air PK-CLC. (flightradar24.com) |
Nah, dari data Flightradar24, sejak tanggal 19 Desember 2020, pesawat PK-CLC Sriwijaya Air terbang dengan rute yang sama sebanyak sembilan kali. Untuk peta di atas menggambarkan tiga penerbangan terakhir Jakarta-Pontianak, yakni pada 3 Januari dan 9 Januari pukul 05.14 WIB dan pukul 14.36 WIB. Apabila digabungkan dengan data prosedur keberangkatan (Standard Instrument Departure) yang dirilis Kementerian Perhubungan, tampak dua jalur yang biasa ditempuh oleh pesawat. Jalur pertama seperti yang tergambar pada rekam penerbangan 9 Januari pagi hari (garis berwarna biru).
Setelah lepas landas dari bandara, pesawat akan diarahkan menuju titik yang disebut Winar dan belok ke kanan, ke titik Arjuna. Dari Arjuna, kemudian bergerak ke timur laut (pada peta, ke arah serong atas kanan) menuju Pontianak. Memang pada beberapa kondisi, pesawat bisa diarahkan ke titik Abasa, atau jalur pintas. Perjalanan ini nampak pada penerbangan 3 Januari (garis berwarna hijau), yang menjadi pilihan jalur kedua pada peta diatas.
Sesuai prosedur, perpindahan jalur ke titik Abasa biasa terjadi jika cuaca baik, tidak ada awan tebal, dan kondisi lalu lintas di udara cenderung sepi sesuai arahan Air Traffic Controller (ATC). Setelah dari Abasa, dia akan bergerak menuju destinasi.
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, kondisi cuaca ketika pesawat terbang sedang hujan dan disertai petir dengan jarak pandang sejauh 2 kilometer. Meski demikian, cuaca ini dikategorikan layak terbang atau mendarat. Nah, disini upaya perpindahan jalur ke Abasa bisa diduga dilakukan oleh sang pilot pada penerbangan 9 Januari siang hari, sebelum kecelakaan terjadi. Dalam dunia penerbangan, pesawat diarahkan ke jalur pintas sebenarnya bukan masalah dan wajar, tapi untuk pesawat ini pada 09 Januari 2021 belum sampai (jalur pintas) terus oleng dan jatuh.
Pada peta tersebut, fase oleng dan jatuh tampak saat pesawat sempat kehilangan arah saat menuju Abasa. Bukannya berbelok ke arah timur laut posisi titik Abasa, pesawat justru sempat berbelok ke arah barat jalur normal dan kemudian tak lama kembali ke timur, dan jatuh. Pada saat membelok ini, ketinggian pesawat menurun dari 3.322 meter di atas permukaan laut (mdpl), ke posisi 2.476 meter dalam waktu 10 detik. Ingat ya, ini hanya bersifat dugaan dan perlu dicocokkan dengan data penerbangan dari pesawat yang saat ini masih dalam penelitian KNKT. Perlu kita ketahui saja kecelakaan pesawat tidak hanya terjadi karena satu faktor penyebab yang salah satunya kemungkinan disorientasi dari sang pilot atau human factors.
Mengutip situs Federation Aviation Administration (FAA), disorientasi ruang terjadi karena ketidakmampuan tubuh untuk mengidentifikasi kondisi sekitar saat terbang. Gangguan sistem keseimbangan tubuh bisa terjadi karena adanya gangguan sensor dan ilusi. Statistik FAA menunjukkan sebanyak 5 persen hingga 10 persen kecelakaan pesawat terjadi karena disorientasi dan mayoritas mengakibatkan korban jiwa.
Merujuk laporan investigasi yang diterbitkan, pada saat kejadian, situasi cuaca sedang tidak mendukung dengan awan tebal yang menyebabkan langit terlihat hitam pekat. Mulanya, sudut kemiringan pesawat terlalu ke kanan pada saat terbang sesaat setelah lepas landas. Kemudian, alarm berbunyi agar menstabilkan kondisi. Pilot menggeser ke kiri untuk menyeimbangkan, tapi kemudian justru sudut kemiringan yang diambil melebihi batas dan pesawat tidak seimbang.
Pesawat Jatuh dengan Mesin Hidup
Dalam rekam jejak flightradar24 tercatat pesawat terjun bebas dari puncak ketinggian 11.000 kaki (3.322 mdpl) hingga 250 kaki (76 mdpl) sebelum akhirnya hilang kontak. Pada saat menyentuh air, diduga mesin pesawat belum mati sehingga masih mengirimkan data koordinat, ketinggian, dan kecepatan. Data radar (ADS-B) yang diperoleh KNKT dari Airnav Indonesia juga menunjukkan demikian.
"Dari data ini kami menduga bahwa mesin masih dalam kondisi hidup sebelum pesawat membentur air," rilis Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono.
Misteri Kecepatan Jatuh Pesawat Sriwijaya Air PK-CLC
Lalu, seberapa cepat pesawat terjun bebas? Menurut data Flightradar24, kecepatan vertikal (vertical speed) pesawat puncaknya hingga -30.000 kaki per menit (fpm). Angka minus dalam data tersebut, menunjukkan pesawat terjun bebas. Saat terjadi puncak kecepatan vertikal, pesawat berada di ketinggian 8.125 kaki atau sekitar 2.476 mdpl, pada pukul 14.40 WIB. Secara matematis, dengan kecepatan tersebut, dia hanya membutuhkan 16 detik untuk menyentuh air. Tapi, kenyataannya, baru 11 detik dia sudah hampir jatuh ke laut, berada di ketinggian 76 mdpl. Dari sini bisa diambil kesimpulan pesawat tersebut terjun bebas ke bawah dengan tenaga. Kalau mesin mati, dia tidak bisa turun secepat itu.
Nah, dalam data flightradar24, pesawat sempat mengirimkan data radar dengan kecepatan vertikal bernilai positif, 20.000 fpm, setelah terjun bebas. Nilai positif bisa diartikan posisi pesawat menanjak. Tapi, dalam konteks pesawat PK-CLC, belum tentu pesawat sempat menanjak setelah terjun bebas. Vertical speed ini kan hasil penghitungan berbagai variabel yang dikirim pesawat. Kalau setelah jatuh kok ada nilai positif 20 ribu, itu sudah melebihi batas kemampuan alat itu memberikan angka yang akurat, sehingga tidak mungkin climbing (naik). Disini bisa diduga ada serpihan pesawat yang mental (dan mengirimkan data). Tapi masa sampai kecepatan 20 ribu? Ini yang harus diteliti. Sekali lagi, lepas dari berbagai anomali, temuan ini hanya berupa dugaan dari data. Seluruh dugaan ini perlu diteliti mendalam dengan data rekam penerbangan yang dimiliki pesawat atau FDR.
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.