Orang waras menyesuaikan diri dengan dunia, sementara orang gila terus gigih berusaha menyesuaikan dunia dengan dirinya. Karena itu, segala kemajuan tergantung pada orang yang ‘tak waras’. Senang sekali saya membaca kata-kata
hebat itu dalam buku Robin Sharma, The Greatness Guide, jilid kedua.
Saya jadi ingat tokoh-tokoh besar yang di jamannya ditertawakan atau bahkan dikucilkan orang karena gagasan atau cita-cita mereka. Saya ingat para astronom seperti Nicolaus Copernicus, seorang pastur dan ilmuwan generalis serba bisa yang merevolusi paham lama mengenai pergerakan benda-benda angkasa yang secara harfiah disimpulkan dari kitab suci. Melalui bukunya De Revolutionibus Orbium Coelestium (Tentang Peredaran Bola-bola Angkasa) ia menyajikan dasar-dasar astronomi modern, di tengah cercaan dan tentangan kaum kolot agama.
Saya ingat Galileo Galilei yang membela
Copernicus bahwa bukan matahari yang mengelilingi bumi, tetapi sebaliknya, dan untuk itu, dia jadi tawanan rumah seumur hidup. Saya ingat filsuf naturalis besar Charles Darwin yang menulis buku yang menggegerkan dunia berjudul On the Origin of Species, yang sampai kini pun masih ada pihak yang alergi terhadap pandangannya. Saya ingat orang-orang seperti Columbus dan Amerigo Vespucci yang tak takut kecebur ke jurang tanpa dasar yang diyakini adanya oleh orang-orang yang mengganggap dunia ini datar.
Hebat mereka semua. Orang-orang yang di jamannya dianggap “tak genah”, “pemimpi nyeleneh”, “tak masuk akal”, “tak punya akal sehat”, atau bahkan “sinting”, “tak waras” itu membuka mata kita bahwa mayoritas sebenarnya tak punya otoritas terhadap kebenaran. Bahwa mayoritas bisa keblinger, bahkan kalaupun mayoritas itu mendasarkan pandangan mereka pada pengetahuan yang mereka tarik dari kitab yang dianggap suci oleh seluruh dunia.
Dari sejarah mereka kita belajar bahwa
objektivitas lebih kuat daripada klaim atau kepercayaan; bahwa penampakan kebenaran umumnya berproses seperti plot biasa film koboi. Kalah dulu, menang belakangan. Tapi, karena menutup episode, kemenangan itu terasa lebih manis.
Sayangnya, dalam kasus orang-orang yang saya sebut tadi, khususnya Copernicus dan Galileo, kemenangan kebenaran mereka baru diakui sekian abad kemudian. Mereka terpaksa menunggu sekian lama untuk direstorasi nama baik mereka, walau sesungguhnya nama baik mereka tak perlu direstorasi, karena nama baik itu sebenarnya tidak rusak… Cuma tidak diterima oleh otoritas yang merasa tahu objekvitas dunia hanya dari sumber yang mereka percaya secara buta. Nama yang menindas merekalah yang sesungguhnya menjadi tidak baik, dan perlu direstorasi dengan minta maaf kepada pihak yang mereka tindas, juga kepada dunia yang telah menjadi saksinya yang tak pernah lupa.
Sesungguhnya, selama sekian abad tadi,
pihak yang semula menertawakan itu tersuruk-suruk dalam rasa malu. Anak cucu tertunduk-tunduk keberatan beban rasa salah atas kekonyolan kaum pendahulu. Ujung-ujungnya, kalau memang gentlemen dan punya harga diri dan karenanya mau jadi rendah hati
Ada ironi bahkan tragika, dalam pengetahuan kita. Dia menerangi, mempermudah dan membebaskan; tetapi pada saat yang sama pengetahuan kita memerangkap kita di dalam logikanya. Begitu kita pegang logikanya, tak cukup bebas lagi kita untuk menerima logika yang lain.
Perangkap itu semakin menjadi-jadi begitu pengetahuan itu tersosialisasi, apalagi kalau disertai dengan teror, dari yang paling halus sampai yang kasar kotor. Berdasarkan pengetahuan itu lalu realitas akan terpisah antara yang masuk akal dan yang tak masuk akal, berdasarkan logika dan paradigma yang diandaikan oleh pengetahuan itu.
Berdasarkan pengetahuan yang sudah
tersosialisasikan itulah orang dianggap
waras atau sinting. Yang sejalan dengan
mayoritas yang memegang pengetahuan tersosialisasi tadi dianggap waras, masuk akal, rasional, normal, teman. Yang tak sejalan disebut aneh, nyleneh, subversif, murtad, gila, sinting, dan lawan yang sampai-sampai harus dihancurkan.
Perangkap pengetahuan inilah yang
mendorong J. Krisnamurti untuk menulis Freedom from the Known, untuk memungkinkan kita merebut kembali kebebasan kita dari perangkap pengetahuan. Mistikus India ini memberi kita perspektif untuk merebut kembali fleksibilitas kita terhadap penyingkapan fakta-fakta, tanpa dihalangi oleh prasangka. Dengan itu, jiwa kita akan jadi sedemikian lebar, untuk menampung keluasan cakrawala.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.