Berbagai permasalahan dunia logistik dan utamanya moda transportasi truck melalui jalan raya (arteri) dan tol yang hingga kini belum juga selesai. Dan kini yang lagi hangat-hangatnya adalah masalah Over Dimension Over Load. Sesungguhnya, ODOL sudah menjadi budaya di dunia logistik angkutan truk, meskipun sudah ada Undang-undang No. 22 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2007 namun budaya ODOL terus berkembang. Pelaku ODOL tidak hanya pengemudi truck, pemilik atau pengusaha truck, tetapi dilakukan juga oleh BUMN, industri, petani hingga pedagang. Nah, dalam pandangan saya penindakan terhadap truk bermuatan lebih (overload) ibarat dua sisi mata pisau. Di satu sisi bisa menciptakan persaingan sehat, tapi di sisi lain bisa mengerek harga barang yang pada ujungnya membuat instabilitas ekonomi negara.
Mengapa Ada Truck ODOL?
Sebelum membahas lebih lanjut, saya akan menjelaskan mengapa ada truck ODOL. Pangkal masalah truck ODOL ini banyak dipakai masyarakat kan agar bisa memuat banyak sehingga menghemat ongkos operasional. Pengusaha truk terpaksa melakukan pelanggaran karena tuntutan pemilik barang, di sisi lain pengusaha truk tak bisa menolak karena khawatir pemilik barang mencari truk lain. Akhirnya, pengusaha truk menambah panjang dimensi ukuran truknya (over-dimension). Bahkan, tak jarang truk yang dipesan dari karoseri sudah over-dimension. Bagi pengusaha truk, memuat barang berlebih memang dilematis. Di satu sisi memberikan keuntungan tapi di sisi lain juga memberikan kerugian karena spare part truck juga tidak awet.
Nah udah jelas kan, truk ODOL memberikan keuntungan dari sisi ekonomi. Tapi, di saat yang sama juga memicu kerugian secara sosial. Sebab, truk ODOL sering menjadi penyebab kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan jalan yang menimbulkan kemacetan. Saya juga sempat membaca berita tentang usul Kemenhub agar pengusaha angkutan melakukan penambahan sumbu roda truck. Menurut pandanganku, ini bukan usul yang bai sebab diperlukan cost yang sangat besar. Misal kita menambah sumbu roda, apakah para ATPM (agen tunggal pemegang merk) bersedia memberikan lisensi? Apakah nambah sumbu itu sesuai standart keselamatan yang ditetapkan pabrikan? Tentu masih memerlukan kesepakan antara pabrikan dan pemerintah.
Namun, kabar baiknya dari faktor yang saya sebutkan di atas, belakangan mulai muncul kesadaran dari pengusaha truk untuk mendukung pemerintah dalam penertiban angkutan barang. Namun disini juga menimbulkan pro dan kontra dan berdampak positif dan negatif pula. Dampak positif antara lain truck lebih awet, selain itu juga jumlah ritase atau penghitungan sewa truk akan lebih banyak karena muatan dikurangi. Dampak negatifnya adalah tidak sedikit pemilik barang yang mencari truk lain yang masih mau melanggar ODOL untuk menghemat biaya. Pemilik barang bisa menghemat biaya logistik jika menggunakan satu truk ODOL daripada harus menggunakan dua unit truk.
Zero ODOL Butuh Kesepakatan Multi Sektor
Suksesnya penerapan peraturan ODOL harus melalui kesepakatan dengan multisektor. Jika tidak, maka bisa dipastikan kebijakan ini tak akan berjalan. Kesepakatan harus terjadi antara Kemenhub (sebagai regulator) dengan Kementerian Koordinator Perekonomian, Kementerian Keuangan (Badan Kebijakan Fiskal), Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian PUPR/BPJT, Korlantas POLRI dan Kementerian BUMN/BUJT. Dalam catatan saya, belum ada kesepakatan multisektor makanya penegakan hukum terhadap ODOL belum efektif.
Jika tidak ada kesepakatan antarsektor, penerapan kebijakan ODOL akan berdampak langsung pada:
(1) Kenaikan biaya logistik akibat kenaikan ongkos angkut yang mencapai 100 persen. Sebagai contoh, sebuah truk 100 persen, artinya kapasitas sesungguhnya hanya 20 ton tetapi diisi muatan hingga 40 ton. Dengan adanya kebijakan ini, pengusaha harus mengembalikan muatan sesuai kapasitas yaitu 20 ton. Karena muatan dikurangin setengahnya, maka biaya angkut menjadi dua kali lipat atau 100%.
(2) Munculnya potensi kelangkaan produk karena kekurangan armada angkutan selama masa transisi. Akan ada penumpukan barang yang terlambat terdistribusi akibat keterbatasan armada pengangkut. Misak satu truk biasa isi 8,5 ton bawa bawang, akibat peraturan ODOL, maka satu truk hanya boleh bawa 6 ton, lha barang yang enggak diangkut disimpan di gudang. Nunggu baliknya itu truk perlu waktu seminggu, distribusi terganggu, harga pasti naik. Siapa yang rugi? Kan rakyat, beban rakyat jadi nambah.
(3) Penambahan jumlah armada dalam jumlah besar akan mengakibatkan kepadatan lalu lintas karena moda alternatif misalnya kereta api butuh waktu dan tidak dapat sepenuhnya menggantikan truk. Penambahan antrean kendaraan di beberapa titik distribusi, mulai loading dan unloading, akan menimbulkan kemacetan di wilayah tersebut.
Dengan bertambahnya jumlah armada akibat Zero ODOL, jumlah truk pasti bertambah dua kali lipat. Itu artinya, jalanan akan bertambah macet karena tidak mampu menampung bertambahnya truk dari semua lini. Seiring dengan penambahan truck, berdampak pada penambahan jumlah sopir. Pertanyaanya apakah mudah mendidik atau merekrut sopir baru yang baik, tepat waktu, tahan ngantuk serta tidak ugal-ugalan dalam waktu singkat?
Pertanyaan kita tentu apakah pemerintah sudah menghitung dampak ekonomi penerapan zero ODOL terhadap kenaikan harga semua barang? Apakah biaya tambahan perbaikan jalan Rp 23 triliun per tahun sudahkah sebanding dengan biaya ekonomi yang akan timbul dan inflasi yang terkerek.
Menurut saya, pemerintah lebih baik menunda pelaksanaan zero ODOL. Aturan truck ODOL ini silahkan dilanjutkan setelah melalui persiapan yang lebih matang dengan kajian dari berbagai sisi oleh para ahli ekonomi. Lebih baik terlambat tapi menghasilkan dampak kecil ketimbang kejar target malahan bikin kacau negara. Kalau pemerintah ingin serius memberantas truck ODOL, maka harus terintegrasi dengan semua pihak, termasuk pengusaha, pemilik truk, dan supir truck.
Kesimpulannya, melalui tulisan ini saya sangat mendukung aturan ODOL. Apalagi bila penerapan zero ODOL dibarengi dengan penyesuaian tarif angkutan yang lebih menarik, maka kemungkinan pengusaha bersedia. Sebab dengan tarif menarik, pengusaha angkutan akan mampu membeli armada truk baru atau bekas. Tapi ingat, tarif angkutan naik. Lalu siapa yang menjerit? Kan rakyat juga hehehe… Dan sekali lagi, mari kita dukung aturan truck ODOL namun harus kita sepakati bersama bahwa kita harus memiliki daya saing untuk memajukan perekonomian Indonesia.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.