Senin, 27 Agustus 1883, Gunung Krakatau meletus dahsyat. Menurut catatan geolog Universitas Oxford Inggris, Simon Winchester, dalam Krakatoa: The Day the World Explode, letusan tersebut menimbulkan awan panas setinggi 70 kilometer dan tsunami 40 meter. Setidaknya 36.417 juta jiwa tewas, dan 165 desa luluh lantak akibat bencana tersebut. Dunia pun menjadi gelap. Abu Gunung Krakatau menyebar ke beberapa pelosok dunia negara. Bahkan, di Amerika Utara dan Eropa, cahaya matahari pasca-letusan Krakatau dikabarkan berwarna biru, sedangkan sinar bulan pada malam hari menjadi oranye. Foto ini adalah dari Illustrated London News yang terbit pada 8 September 1883 (Anda bisa membeli replika halaman depan koran itu seharga 184 dollar di Amazon).
Sebelum letusan 1883, wilayah Krakatau merupakan sebuah kelompok pulau-pulau yang terdiri dari Pulau Sertung, Pulau Rakata Kecil dan Pulau Rakata sebagai pulau utama dengan tiga gunung api aktif, yaitu Gunung Rakata, Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan. Sebenarnya, jauh sebelum Pulau Krakatau muncul, menurut catatan Escher (1919), lalu dilengkapi Adjat Sudrajat (1981), “nenek moyang” Gunung Krakatau pernah hidup dalam bentuk utuh, namun diperkirakan meletus dan hampir seluruh tubuhnya tenggelam pada abad ketiga. Peneliti Belanda Verbeek, dalam The Krakatoa Eruption melaporkan aktivitas terakhir sebelum 1883 adalah letusan-letusan kecil Gunung Perbuwatan pada 1680.
Anak Krakatau
Kemudian pada 1927 sebuah gunung “menyembul” lahir dari bekas lokasi Gunung Krakatau. Dia dinamakan Anak Krakatau. Beratus tahun kemudian, Anak Krakatau pada Sabtu 22 Desember 2018, pukul 17.22 WIB mengeluarkan lava pijar. sekitar 3,5 jam sebelum erupsi pukul 21.03 WIB yang diduga turut menyebabkan tsunami kawasan Selat Sunda di Banten dan Lampung.
Saat itu angin bertiup lemah ke arah timur laut dan ombak terpantau tenang. Tinggi kolom abu lebih dari 1.500 m di atas puncak. Erupsi itu terekam pada seismograf dengan amplitudo maksimum 58 mm dengan durasi kurang-lebih 5 menit 21 detik.
Tsunami Anyer Dan Lampung
Setelah berdebat panjang, akhirnya BMKG menyatakan bahwa gelombang pasang air laut di Pantai Anyer, Serang, Banten adalah tsunami. Keputusan ini ditetapkan di tengah perdebatan mengenai istilah yang 'tepat' untuk menggambarkan fenomena alam yang terjadi di kawasan Pantai Anyer. Sebelumnya, BMKG dan BNPB mengatakan gelombang pasang tersebut hanyalah fenomena alam biasa yang disebabkan bulan purnama, sehingga air laut naik mencapai ke daratan.
Kemudian, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami pada Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), sempat mengatakan bahwa tsunami yang terjadi di Selat Sunda disebabkan oleh aktivitas Gunung Anak Krakatau, dan bukan gempa bumi.
Namun, beberapa saat kemudian, BMKG melalui akun Twitter resminya kembali mengabarkan bahwa tsunami Anyer lebih tepatnya disebabkan oleh longsor bawah laut di sekitar area Gunung Anak Krakatau.
Longsoran bawah laut memang bisa menyebabkan tsunami, bahkan hanya dengan gempa yang magnitudo kecilpun mampu menimbulkan longsoran yang berpotensi menimbulkan Tsunami. Antara pun memberitakan hal itu.
Dari perkembangan kehidupan Gunung Anak Krakatau yang terus tumbuh tersebut menimbun material vulkanik di bagian atas sehingga menyebabkan dinding yang terjal di bagian bawah gunung. Tebing bawah laut yang semakin terjal di bagian bawah Gunung Anak Krakatau bisa terjadi longsor apabila ada getaran kuat akibat aktivitas vulkanik, yang mungkin juga ditambah dengan hempasan gelombang arus laut.
Biasanya tsunami yang terjadi karena longsoran tebing bawah laut tidak menimbulkan gelombang besar. Kendati demikian, tingginya gelombang tsunami juga dipengaruhi seberapa besar material yang runtuh. Tsunami yang terjadi di Selat Sunda juga dipengaruhi kondisi pasang air laut yang disebabkan gravitasi bulan saat terjadi purnama.
Sebelum letusan 1883, wilayah Krakatau merupakan sebuah kelompok pulau-pulau yang terdiri dari Pulau Sertung, Pulau Rakata Kecil dan Pulau Rakata sebagai pulau utama dengan tiga gunung api aktif, yaitu Gunung Rakata, Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan. Sebenarnya, jauh sebelum Pulau Krakatau muncul, menurut catatan Escher (1919), lalu dilengkapi Adjat Sudrajat (1981), “nenek moyang” Gunung Krakatau pernah hidup dalam bentuk utuh, namun diperkirakan meletus dan hampir seluruh tubuhnya tenggelam pada abad ketiga. Peneliti Belanda Verbeek, dalam The Krakatoa Eruption melaporkan aktivitas terakhir sebelum 1883 adalah letusan-letusan kecil Gunung Perbuwatan pada 1680.
Anak Krakatau
Kemudian pada 1927 sebuah gunung “menyembul” lahir dari bekas lokasi Gunung Krakatau. Dia dinamakan Anak Krakatau. Beratus tahun kemudian, Anak Krakatau pada Sabtu 22 Desember 2018, pukul 17.22 WIB mengeluarkan lava pijar. sekitar 3,5 jam sebelum erupsi pukul 21.03 WIB yang diduga turut menyebabkan tsunami kawasan Selat Sunda di Banten dan Lampung.
Saat itu angin bertiup lemah ke arah timur laut dan ombak terpantau tenang. Tinggi kolom abu lebih dari 1.500 m di atas puncak. Erupsi itu terekam pada seismograf dengan amplitudo maksimum 58 mm dengan durasi kurang-lebih 5 menit 21 detik.
Tsunami Anyer Dan Lampung
Setelah berdebat panjang, akhirnya BMKG menyatakan bahwa gelombang pasang air laut di Pantai Anyer, Serang, Banten adalah tsunami. Keputusan ini ditetapkan di tengah perdebatan mengenai istilah yang 'tepat' untuk menggambarkan fenomena alam yang terjadi di kawasan Pantai Anyer. Sebelumnya, BMKG dan BNPB mengatakan gelombang pasang tersebut hanyalah fenomena alam biasa yang disebabkan bulan purnama, sehingga air laut naik mencapai ke daratan.
Kemudian, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami pada Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG), sempat mengatakan bahwa tsunami yang terjadi di Selat Sunda disebabkan oleh aktivitas Gunung Anak Krakatau, dan bukan gempa bumi.
Namun, beberapa saat kemudian, BMKG melalui akun Twitter resminya kembali mengabarkan bahwa tsunami Anyer lebih tepatnya disebabkan oleh longsor bawah laut di sekitar area Gunung Anak Krakatau.
Longsoran bawah laut memang bisa menyebabkan tsunami, bahkan hanya dengan gempa yang magnitudo kecilpun mampu menimbulkan longsoran yang berpotensi menimbulkan Tsunami. Antara pun memberitakan hal itu.
Dari perkembangan kehidupan Gunung Anak Krakatau yang terus tumbuh tersebut menimbun material vulkanik di bagian atas sehingga menyebabkan dinding yang terjal di bagian bawah gunung. Tebing bawah laut yang semakin terjal di bagian bawah Gunung Anak Krakatau bisa terjadi longsor apabila ada getaran kuat akibat aktivitas vulkanik, yang mungkin juga ditambah dengan hempasan gelombang arus laut.
Biasanya tsunami yang terjadi karena longsoran tebing bawah laut tidak menimbulkan gelombang besar. Kendati demikian, tingginya gelombang tsunami juga dipengaruhi seberapa besar material yang runtuh. Tsunami yang terjadi di Selat Sunda juga dipengaruhi kondisi pasang air laut yang disebabkan gravitasi bulan saat terjadi purnama.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Turut berduka atas tsunami yang terjadi di anyer - lampung dan makasih info mengenai letusan gunung krakataunya gan
ReplyDeleteAmiin... Sama sama om Rio
ReplyDelete