Oktober lalu saya ketemu teman SMP, di media sosial Facebook. Berhubung lama gak ketemu, ketemu terakhir kira-kira tahun 1996 akhirnya kita intens chat. Nah, mungkin karena terlalu sering akhirnya menjadi masalah dengan keluarganya. Akhirnya Desember ini aku pun di blokir. Padahal sebenernya hanya masalah kecil saja, tapi berhubung aku di blokir Facebook, WhatsApp dan bahkan telfon ya sudah, kita pun tidak bisa menyelesaikan masalah tersebut.
Padahal yang paling aku hindari adalah blokir teman Facebook. Bukan hanya di Facebook, di Twitter, Instagram dan WhatsApp tidak ada yang aku blokir. Kalau ada masalah ya kita selesaikan, bukan lari dari masalah dengan memblokirnya. Ingat, blokir hanya mengendapkan masalah, bukan menyelesaikan masalah.
Soal blokir antarteman ini perkara yang sangat fundamental. Selama ini, kita bebas saja memblokir siapa pun yang ingin kita blokir. Sekilas tampaknya simpel dan sepele, namun diam-diam membentuk cara kita dalam berinteraksi, membentuk cara kita berpikir, bahkan membentuk cara kita menjalani hidup sebagai manusia.
Percayalah, dengan mudahnya memblokir teman, kita akan tumbuh menjadi orang-orang yang tidak membiasakan diri dengan perbedaan pendapat. Okelah kalau Anda memblokir karena mereka melakukan spam, itu gak masalah. Namun pada kenyataannya banyak orang yang asal main blokir saja hanya gara-gara perdebatan. Beda pendapat, ribut kecil, perbedaan pandangan itu memancing stigma, lalu blokir solusinya, seperti yang saya alami.
Padahal, apa yang didapatkan dari tindakan memblokir orang yang berlainan pandangan? Yang terjadi adalah orang-orang semakin asyik berkumpul hanya dengan kelompoknya sendiri, hanya dengan pikiran-pikiran yang seragam dengan pikirannya sendiri, hanya dengan mereka yang satu sama lain saling melemparkan puja-puji. Mekanisme autokritik dalam satu kelompok yang sama tidak pernah terjadi, sementara kepada kelompok lain tidak akan pernah muncul apresiasi sama sekali. Dengan fitur blokir yang demikian mudah, manusia-manusia akan mengungkung diri dengan nyaman dalam cangkang pikiran mereka sendiri-sendiri.
Hasilnya adalah semakin kerasnya polarisasi. Kutub-kutub klaim kebenaran semakin memanas, dan potensi-potensi benturan akan semakin gampang muncul dengan beringas. Pada titik inilah, omong kosong jika kita masih dengan gagah berbicara tentang keragaman. Keragaman di dunia ini bukan cuma keragaman warna kulit, etnis, dan agama. Namun juga keragaman pikiran. Dengan menutup akses atas pikiran-pikiran yang berbeda, kita sesungguhnya sedang memupuk sikap megalomania, memonopoli kebenaran, menolak kebhinnekaan, menyangkal realitas, dan menjalani aktivitas masturbasi intelektual. Tidak bakalan ada proses belajar yang kita jalani, selain hanya mencari afirmasi-afirmasi atas keyakinan dan pandangan yang sudah kadung kita pegang erat sedari dini.
Dalam polarisasi pergaulan seperti itu, jangan heran kalau yang terbangun adalah semangat untuk terus ribut, bukan rangsangan-rangsangan untuk bersinergi. Maka dari itu saya selalu menghidari memblokir teman di media sosial.
Padahal yang paling aku hindari adalah blokir teman Facebook. Bukan hanya di Facebook, di Twitter, Instagram dan WhatsApp tidak ada yang aku blokir. Kalau ada masalah ya kita selesaikan, bukan lari dari masalah dengan memblokirnya. Ingat, blokir hanya mengendapkan masalah, bukan menyelesaikan masalah.
Soal blokir antarteman ini perkara yang sangat fundamental. Selama ini, kita bebas saja memblokir siapa pun yang ingin kita blokir. Sekilas tampaknya simpel dan sepele, namun diam-diam membentuk cara kita dalam berinteraksi, membentuk cara kita berpikir, bahkan membentuk cara kita menjalani hidup sebagai manusia.
Percayalah, dengan mudahnya memblokir teman, kita akan tumbuh menjadi orang-orang yang tidak membiasakan diri dengan perbedaan pendapat. Okelah kalau Anda memblokir karena mereka melakukan spam, itu gak masalah. Namun pada kenyataannya banyak orang yang asal main blokir saja hanya gara-gara perdebatan. Beda pendapat, ribut kecil, perbedaan pandangan itu memancing stigma, lalu blokir solusinya, seperti yang saya alami.
Padahal, apa yang didapatkan dari tindakan memblokir orang yang berlainan pandangan? Yang terjadi adalah orang-orang semakin asyik berkumpul hanya dengan kelompoknya sendiri, hanya dengan pikiran-pikiran yang seragam dengan pikirannya sendiri, hanya dengan mereka yang satu sama lain saling melemparkan puja-puji. Mekanisme autokritik dalam satu kelompok yang sama tidak pernah terjadi, sementara kepada kelompok lain tidak akan pernah muncul apresiasi sama sekali. Dengan fitur blokir yang demikian mudah, manusia-manusia akan mengungkung diri dengan nyaman dalam cangkang pikiran mereka sendiri-sendiri.
Hasilnya adalah semakin kerasnya polarisasi. Kutub-kutub klaim kebenaran semakin memanas, dan potensi-potensi benturan akan semakin gampang muncul dengan beringas. Pada titik inilah, omong kosong jika kita masih dengan gagah berbicara tentang keragaman. Keragaman di dunia ini bukan cuma keragaman warna kulit, etnis, dan agama. Namun juga keragaman pikiran. Dengan menutup akses atas pikiran-pikiran yang berbeda, kita sesungguhnya sedang memupuk sikap megalomania, memonopoli kebenaran, menolak kebhinnekaan, menyangkal realitas, dan menjalani aktivitas masturbasi intelektual. Tidak bakalan ada proses belajar yang kita jalani, selain hanya mencari afirmasi-afirmasi atas keyakinan dan pandangan yang sudah kadung kita pegang erat sedari dini.
Dalam polarisasi pergaulan seperti itu, jangan heran kalau yang terbangun adalah semangat untuk terus ribut, bukan rangsangan-rangsangan untuk bersinergi. Maka dari itu saya selalu menghidari memblokir teman di media sosial.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.