Minggu, 20 Mei 2018 kembali terjadi kecelakaan maut yang melibatkan truck selepas FO Kretek Bumiayu. Lagi-lagi rem blong dan overtonase di duga menjadi penyebabnya. Truck obesitas atau overload dan sekarang lebih dikenal dengan istilah ODOL memang menjadi salah satu penyebab kecelakaan di turunan. Tonase yang berlebihan membuat kendaraan meluncur lebih cepat diturunan karena pengaruh gravitasi yang lebih besar. Sejujurnya tronton bermuatan diatas 30 ton itu sudah overload karena GVW tronton hanya sekitar 24 ton. Tapi saya tidak akan membahas kecelakaannya. Saya akan membahas siapa pihak yang paling bertanggung jawan ketika ada truck overload. Selama ini khalayak umum sering menyalahkan sopir truck yang mengangkut overtonase. Perlu kita ketahui bersama, untuk tronton muatan berlebih itu 90% bukan kesalahan pengemudi.
Mana ada sih sopir yang mau membawa muatan berat kalau tidak terpaksa? Muatan berlebih itu akibat kesalahan sistem yang ada selama ini. Sopir itu tidak tau menahu tentang muatan, dia berangkat dari garasi karena sudah menerima DO dengan muatan overload. Sopir truk itu seperti mesin yang bekerja tiap ada perintah, baik dari pemilik truck maupun dari pengurus truck tersebut. Tapi yang menyedihkan, tiap terjadi kecelakaan selalu sopir yang disalahkan akibat muatan overload. Mereka tidak mau tau alur muatan tersebut. Misal seperti gula pasir yang dimuat oleh truck yang kecelakaan tersebut. Itu gula dari pabrik gula PT DUS Cilacap.
Ketika pabrik ada muatan, ditawarkan ke Ekspedisi. Kemudian oleh ekspedisi di lelang ke perusahaan angkutan yang mau membawa. Nah, dari pengalaman saya, DO gula dari PT DUS untuk tronton ada 2 yakni 30 dan 35 ton. Nah, setelah DO tersebut di ambil oleh perusahaan truck, maka perusahaan truck tersebut memberikan DO kepada para pengemudi untuk membawa muatan dengan berat sesuai DO yang mereka terima. Jadi sopir truck itu tinggal menjalankan trucknya saja. Masalah muatan itu urusan orang kantor di perusahaan truk tersebut.
Kalau Bukan Sopir Truck, Lalu Siapa Yang Paling Bertanggung Jawab Dengan Truck Obesitas?
Memang susah untuk menjawab pertanyaan ini, namun bila kasusnya seperti penjelasan diatas, sopir hanya menjalankan saja, maka pihak yang harusnya bertanggung jawab terhadap muatan truck overload adalah pengusaha, baik pengusaha angkutan maupun pemilik barang. Pemilik barang ini bisa perusahaan bisa juga perorangan. Namun sering juga saya temui, sebenarnya pengusaha angkutan gak mau membawa muatan overload namun pihak pengusaha atau pemilik barang juga ngotot tidak mau merubah DO nya. Maka mereka, pemilik barang penyebab utama muatan overload. Mereka berhasil menekan pengusaha truk dengan cara mengadu harga.
Misal tarif angkut barang per kilogram dari Jateng - Jakarta adalah Rp 300 per KG dan barang yang diangkut 20 ton. Maka biaya yang dikeluarkan adalah Rp 300 x 20.000 = Rp 6 juta. Jika pengusaha truck minta mengangkut 10 ton saja, dengan ongkosan sama maka Rp 300 x 10.000 = Rp 3 juta. Pengusaha angkutan tentu merugi. Jika akhirnya pengusaha truck tetap minta Rp 6 juta untuk 10 ton, tentunya harga kirim per kilogram sekarang menjadi Rp 600. Harga ini tentunya akan ditagihkan ke pemilik barang tersebut. Kenyataannya banyak pemilik barang yang tidak siap membayar lonjakan tarif angkutan karena akan berakibat naiknya harga barang dan memilih untuk overtonase dan mau tidak mau pengusaha angkutan pun menerima muatan berlebih (overload) untuk menutup biaya operasional karena kalau dibawah 6 juta tidak nutup untuk operasional.
Dan kenyataannya semua truk ekspedisi di Indonesia overload baik itu tonase maupun volume barangnya. Karena menurut para pemilik barang, kalau enggak overload biaya angkut mahal dan harga jual barang tersebut pun menjadi mahal dan itu selalu menjadi alasan mereka.
Mana ada sih sopir yang mau membawa muatan berat kalau tidak terpaksa? Muatan berlebih itu akibat kesalahan sistem yang ada selama ini. Sopir itu tidak tau menahu tentang muatan, dia berangkat dari garasi karena sudah menerima DO dengan muatan overload. Sopir truk itu seperti mesin yang bekerja tiap ada perintah, baik dari pemilik truck maupun dari pengurus truck tersebut. Tapi yang menyedihkan, tiap terjadi kecelakaan selalu sopir yang disalahkan akibat muatan overload. Mereka tidak mau tau alur muatan tersebut. Misal seperti gula pasir yang dimuat oleh truck yang kecelakaan tersebut. Itu gula dari pabrik gula PT DUS Cilacap.
Ketika pabrik ada muatan, ditawarkan ke Ekspedisi. Kemudian oleh ekspedisi di lelang ke perusahaan angkutan yang mau membawa. Nah, dari pengalaman saya, DO gula dari PT DUS untuk tronton ada 2 yakni 30 dan 35 ton. Nah, setelah DO tersebut di ambil oleh perusahaan truck, maka perusahaan truck tersebut memberikan DO kepada para pengemudi untuk membawa muatan dengan berat sesuai DO yang mereka terima. Jadi sopir truck itu tinggal menjalankan trucknya saja. Masalah muatan itu urusan orang kantor di perusahaan truk tersebut.
Kalau Bukan Sopir Truck, Lalu Siapa Yang Paling Bertanggung Jawab Dengan Truck Obesitas?
Memang susah untuk menjawab pertanyaan ini, namun bila kasusnya seperti penjelasan diatas, sopir hanya menjalankan saja, maka pihak yang harusnya bertanggung jawab terhadap muatan truck overload adalah pengusaha, baik pengusaha angkutan maupun pemilik barang. Pemilik barang ini bisa perusahaan bisa juga perorangan. Namun sering juga saya temui, sebenarnya pengusaha angkutan gak mau membawa muatan overload namun pihak pengusaha atau pemilik barang juga ngotot tidak mau merubah DO nya. Maka mereka, pemilik barang penyebab utama muatan overload. Mereka berhasil menekan pengusaha truk dengan cara mengadu harga.
Misal tarif angkut barang per kilogram dari Jateng - Jakarta adalah Rp 300 per KG dan barang yang diangkut 20 ton. Maka biaya yang dikeluarkan adalah Rp 300 x 20.000 = Rp 6 juta. Jika pengusaha truck minta mengangkut 10 ton saja, dengan ongkosan sama maka Rp 300 x 10.000 = Rp 3 juta. Pengusaha angkutan tentu merugi. Jika akhirnya pengusaha truck tetap minta Rp 6 juta untuk 10 ton, tentunya harga kirim per kilogram sekarang menjadi Rp 600. Harga ini tentunya akan ditagihkan ke pemilik barang tersebut. Kenyataannya banyak pemilik barang yang tidak siap membayar lonjakan tarif angkutan karena akan berakibat naiknya harga barang dan memilih untuk overtonase dan mau tidak mau pengusaha angkutan pun menerima muatan berlebih (overload) untuk menutup biaya operasional karena kalau dibawah 6 juta tidak nutup untuk operasional.
Dan kenyataannya semua truk ekspedisi di Indonesia overload baik itu tonase maupun volume barangnya. Karena menurut para pemilik barang, kalau enggak overload biaya angkut mahal dan harga jual barang tersebut pun menjadi mahal dan itu selalu menjadi alasan mereka.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.