Hari ini, Minggu (27/5/2018), tepat 12 tahun gempa bumi melanda Yogyakarta dan sebagian wilayah Jawa Tengah. Gempa yang berpusat di kabupaten Bantul 27 Mei 2016 silam menyebabkan ribuan orang meninggal dunia. Pusat gempa berada di Sungai Opak di Dusun Potrobayan, Srihardono, Pundong dengan kekuatan 6,3 skala Richter. Mulai dari pundong dusun potrobayan sebagai titik episentrum dan jalur gempa sampai ke Klaten. Saat ini, di lokasi pusat gempa sudah berdiri tetenger atau tugu peringatan gempa Yogyakarta letaknya 300 meter dari pusat gempa yang merupakan tempuran sungai opak dan oya.
Saat itu warga Jogja masih berduka dengan erupsi Merapi yang cukup besar pada 15 Mei. Namun, peristiwa diluar dugaan menyusul 12 hari kemudian pada dini hari Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05.53 WIB, saat orang mulai bersiap-siap untuk pergi bekerja, terjadi gempa dangkal di darat berkekuatan sekitar Mw 6.4 dengan episentrum (pusat) di wilayah Bantul yang menyebabkan tanah berguncang sekitar 52 detik. Walaupun magnitudonya tidak terlalu besar, gempa ini, seperti dilaporakan oleh Consultative- Group on Indonesia (2006), menyebabkan 6 ribu orang meninggal dunia, 50 ribu orang luka-luka, dan 500 ribu sampai sejuta orang kehilangan tempat tinggal; menelan kerugian sebesar 2,9 triliun rupiah (3,1 miliar US dollars). Wilayah kerusakan terberat adalah Bantul dan Klaten, termasuk kerusakan serius pada Candi Prambanan dan Makam Sultan dari Abad 16 di Imogiri.
Sejarah Gempa Jogja
Banyak orang menduga Gempa Yogya 2006 adalah bencana gempa darat yang pertama kali di wilayah Yogya seperti disebutkan oleh beberapa laporan penelitian, termasuk oleh Walter dkk (2008). Padahal, dalam beberapa laporan yang dibuat pada zaman kolonial, khususnya laporan Dr. S.W. Visser (1922) dan berita di Koran De Locomotief, diceritakan cukup rinci tentang bencana gempa besar di wilayah Yogyakarta pada 10 Juni 1987. Newcomb and McCann (1987), melaporkan kembali dalam makalahnya, bahwa gempa Yogya 1867 adalah bencana gempa dengan sumber di darat yang paling besar sejak abad 17.
Ada dua guncangan gempa Yogya 1867; yang pertama membuat bumi berguncang selama 8 detik, terus hening mencekam sekitar 2 detik, kemudian langsung disusul dengan guncangan yang jauh lebih kuat dari hentakan kedua yang berlangsung selama 70 detik. Guncangan gempa dirasakan pada wilayah dengan radius 500 km dari Yogya. Dari hubungan empiris antara radius guncangan (r) dan kekuatan gempa (M), yaitu: Log (r) = 0,54M – 1,05 dari Hurukawa (2014), Gempa Yogya 1867 kemungkinan berkekuatan sampai M 6,9! Jadi, lebih besar dari Gempa Yogya 2006. Dr. Visser menyimpulkan bahwa sumber-gempanya memanjang berarah barat daya-timur laut di dekat aliran Sungai Opak; alias bersesuaian dengan lokasi Patahan Opak.
Gempa 1867 memporakporandakan Yogyakarta. Sekitar 500 orang meninggal dunia karenanya. Yang sangat penting untuk disimak, wilayah yang mengalami kerusakan paling ekstensif dari gempa 1867 ini sangat mirip dengan kerusakan gempa Yogya 2006, yaitu dari wilayah Bantul sampai Klaten. Dalam laporan koran De Locomotief disebutkan bahwa setengah dari jumlah korban meninggal terjadi di ‘Pasar Gedeh’ yang sekarang dikenal sebagai Pasar Legi di Kota Gede. Pasar bernuansa sejarah dan budaya ini dulu dikenal dengan sebutan ‘Sargedhe’ yang karena berkembang menjadi sangat ramai, Panembahan Senopati, anak Ki Jaka Tingkir, menjadikan wilayah ini sebagai pusat kerajaan Mataram saat ia pertama kali menjadi raja. Candi Prambanan, seperti halnya pada gempa 2006, juga mengalami kerusakan berat pada waktu itu; termasuk bangunan besar Kantor Pos dan Motel tempat peristirahatan Sultan yang berada di dekat candi juga mengalami rusak total.
Patahan Di Bantul
Rekahan tektonik memang banyak dijumpai di daerah Bantul, di sepanjang alur Sungai Opak, dari Imogiri sampai daerah Pleret – Jetis, dengan arah dominan barat daya – timur laut. Kita masih bisa menjumpai beberapa jejak rekahan yang baik, meskipun sebagian besar sudah tidak terlihat lagi. Untungnya, jejak rekahan dan berbagai kerusakan akibat gempa sudah didokumentasikan dengan cukup lengkap oleh Tim LIPI, Tim UGM, dan Tim Badan Geologi.
Dokumentasi data rekahan tektonik ini mengindikasikan dengan kuat keberadaan lokasi Patahan Aktif Opak sebagai sumber gempa Tahun 2006 di sepanjang aliran Sungai Opak yang berarah barat daya-timur laut. Berdasarkan data pola rekahan tektonik dan analisis morfotektonik pada SRTM 30 dan IFSAR 5m, dapat dibuat peta perkiraan lokasi Patahan Opak dan sumber Patahan Gempa tahun 2006.
Sekarang jejak bencananya sudah tidak terlihat karena sudah dibangun kembali, namun mudah-mudahan tidak untuk dilupakan dan bisa sebagai pelajaran untuk kita semua.
Saat itu warga Jogja masih berduka dengan erupsi Merapi yang cukup besar pada 15 Mei. Namun, peristiwa diluar dugaan menyusul 12 hari kemudian pada dini hari Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05.53 WIB, saat orang mulai bersiap-siap untuk pergi bekerja, terjadi gempa dangkal di darat berkekuatan sekitar Mw 6.4 dengan episentrum (pusat) di wilayah Bantul yang menyebabkan tanah berguncang sekitar 52 detik. Walaupun magnitudonya tidak terlalu besar, gempa ini, seperti dilaporakan oleh Consultative- Group on Indonesia (2006), menyebabkan 6 ribu orang meninggal dunia, 50 ribu orang luka-luka, dan 500 ribu sampai sejuta orang kehilangan tempat tinggal; menelan kerugian sebesar 2,9 triliun rupiah (3,1 miliar US dollars). Wilayah kerusakan terberat adalah Bantul dan Klaten, termasuk kerusakan serius pada Candi Prambanan dan Makam Sultan dari Abad 16 di Imogiri.
Sejarah Gempa Jogja
Banyak orang menduga Gempa Yogya 2006 adalah bencana gempa darat yang pertama kali di wilayah Yogya seperti disebutkan oleh beberapa laporan penelitian, termasuk oleh Walter dkk (2008). Padahal, dalam beberapa laporan yang dibuat pada zaman kolonial, khususnya laporan Dr. S.W. Visser (1922) dan berita di Koran De Locomotief, diceritakan cukup rinci tentang bencana gempa besar di wilayah Yogyakarta pada 10 Juni 1987. Newcomb and McCann (1987), melaporkan kembali dalam makalahnya, bahwa gempa Yogya 1867 adalah bencana gempa dengan sumber di darat yang paling besar sejak abad 17.
Ada dua guncangan gempa Yogya 1867; yang pertama membuat bumi berguncang selama 8 detik, terus hening mencekam sekitar 2 detik, kemudian langsung disusul dengan guncangan yang jauh lebih kuat dari hentakan kedua yang berlangsung selama 70 detik. Guncangan gempa dirasakan pada wilayah dengan radius 500 km dari Yogya. Dari hubungan empiris antara radius guncangan (r) dan kekuatan gempa (M), yaitu: Log (r) = 0,54M – 1,05 dari Hurukawa (2014), Gempa Yogya 1867 kemungkinan berkekuatan sampai M 6,9! Jadi, lebih besar dari Gempa Yogya 2006. Dr. Visser menyimpulkan bahwa sumber-gempanya memanjang berarah barat daya-timur laut di dekat aliran Sungai Opak; alias bersesuaian dengan lokasi Patahan Opak.
Gempa 1867 memporakporandakan Yogyakarta. Sekitar 500 orang meninggal dunia karenanya. Yang sangat penting untuk disimak, wilayah yang mengalami kerusakan paling ekstensif dari gempa 1867 ini sangat mirip dengan kerusakan gempa Yogya 2006, yaitu dari wilayah Bantul sampai Klaten. Dalam laporan koran De Locomotief disebutkan bahwa setengah dari jumlah korban meninggal terjadi di ‘Pasar Gedeh’ yang sekarang dikenal sebagai Pasar Legi di Kota Gede. Pasar bernuansa sejarah dan budaya ini dulu dikenal dengan sebutan ‘Sargedhe’ yang karena berkembang menjadi sangat ramai, Panembahan Senopati, anak Ki Jaka Tingkir, menjadikan wilayah ini sebagai pusat kerajaan Mataram saat ia pertama kali menjadi raja. Candi Prambanan, seperti halnya pada gempa 2006, juga mengalami kerusakan berat pada waktu itu; termasuk bangunan besar Kantor Pos dan Motel tempat peristirahatan Sultan yang berada di dekat candi juga mengalami rusak total.
Patahan Di Bantul
Rekahan tektonik memang banyak dijumpai di daerah Bantul, di sepanjang alur Sungai Opak, dari Imogiri sampai daerah Pleret – Jetis, dengan arah dominan barat daya – timur laut. Kita masih bisa menjumpai beberapa jejak rekahan yang baik, meskipun sebagian besar sudah tidak terlihat lagi. Untungnya, jejak rekahan dan berbagai kerusakan akibat gempa sudah didokumentasikan dengan cukup lengkap oleh Tim LIPI, Tim UGM, dan Tim Badan Geologi.
Dokumentasi data rekahan tektonik ini mengindikasikan dengan kuat keberadaan lokasi Patahan Aktif Opak sebagai sumber gempa Tahun 2006 di sepanjang aliran Sungai Opak yang berarah barat daya-timur laut. Berdasarkan data pola rekahan tektonik dan analisis morfotektonik pada SRTM 30 dan IFSAR 5m, dapat dibuat peta perkiraan lokasi Patahan Opak dan sumber Patahan Gempa tahun 2006.
Sekarang jejak bencananya sudah tidak terlihat karena sudah dibangun kembali, namun mudah-mudahan tidak untuk dilupakan dan bisa sebagai pelajaran untuk kita semua.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.