Kali ini saya akan mengupas kisah Suwarno alias Buyung, pelukis bak truck di Pasar Induk Cipinang rupanya pernah menjadi teman akrab Sri Sultan Hamengku Bowono X di masa kecil. Umurnya tak lagi muda, usia boleh saja bertambah namun hasrat melukisnya masih menggebu bak pelukis muda. Menjalani profesi sebagai pelukis truck selama puluhan tahun di kawasan Pasar Induk Cipinang. Inilah Buyung, pria sederhana yang kerap menggunakan sepedanya untuk menjemput rezeki.
Buyung bercerita dirinya tidak menyangka pernah menjadi teman karib Sultan Yogyakarta ke-10 tersebut. Buyung berbagi pengalamannya saat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) Keputran 1, Yogyakarta. Tidak semua orang bisa menempuh pendidikan di sekolah khusus bangsawan itu. Buyung bisa bersekolah di sana lantaran sang kakek merupakan abdi dalem keraton Yogyakarta.
"Saya dulu manggil Sri Sultan itu Gusti Her. Nama aslinyan kan Herjuno Darpito," ujar Buyung. Momen yang tidak pernah dilupakannya saat istirahat sekolah, Buyung dibelikan es dan sate.
Kebetulan saat itu yang berjualan jajanan adalah ibunda Buyung. "Minum es, makan sate dan main bareng. Dia selalu beli di tempat ibu dan membelikannya untuk saya," tambahnya.
Saking rindunya kepada teman masa kecilnya, pada awal tahun 2000-an, Buyung mengajak serta keluarganya mengunjungi Keraton Yogyakarta. Birokrasi dan penjagaan yang begitu ketat pun memupus harapan Buyung untuk bertemu Sri Sultan.
"Sebelum tahun 2000 saya ke sana, menunggu di Alun-alun cuma enggak bisa, birokrasinya rumit dan takut dibilang ngaku-ngaku. Saya cuma duduk di pagar saja. Bahkan anak saya belikan kaus bertuliskan Keraton untuk mengobati keinginan saya. Bertemu beliau itu yang belum terwujud sampai saat ini," jelasnya.
Sesekali Buyung membeberkan kecintaannya terhadap seni tumbuh di sekolah rakyat tersebut. Sebut saja Idris Sardi dan WS Rendra yang menjadi kakak kelasnya di sekolah tersebut membuatnya cinta terhadap seni.
"Seni saya tumbuh di Yogyakarta. Soal jiwa seni Yogyakarta memang tempat seniman semua, banyak di asah di sana," terangnya. Nama panggilan Buyung didapat saat dirinya melukis foto di Jembatan Item Jatinegara.
Bergelut dengan kuas dan cat yang merupakan peralatan lukisnya sejak tahun 1970. Suwarno alias Buyung (70) sang pelukis badan truk menyatakan 70% lukisan di truk-truk di Pasar Induk Cipinang merupakan hasil karyanya. Buyung pun menjelaskan, hasil karyanya memiki ciri khas warna dominan merah dan agak berbayang.
Selain itu juga selalu dituliskan kata 'Semoga Selamat' di badan truk. Kata 'Semoga Selamat' itu dituliskan setelah sebelumnya dirinya menulis tentang kata-kata horor yang akhirnya truk tersebut mengalami kecelakaan. Di usia yang lanjut, kondisi fisik Buyung tak lagi memungkinkan untuk berkarya.
Karena sekeliling kebanyakan orang Padang, dia pun ikut terbawa logatnya. Sampai para konsumennya pun memanggil Buyung. Kini teman kecil Sri Sultan Hamengku Buwono X terbaring lemah ditemani anak dan cucu di rumah sederhana di Prumpung, Jakarta Timur. Sementara usaha lukis badan truk telah diwariskan kepada Miswadi anak keempatnya.
Buyung pun mewariskan keterampilannya kepada Miswadi (35) anak keempatnya. "Saya belajar lukis otodidak. Karena kondisi kesehatan saya yang enggak stabil, anak saya yang melanjutkan," jelas Buyung.
Sejak tahun 2005, Mawardi membantu sang ayah untuk melukis badan truk di Pasar Induk Beras Cipinang hingga saat ini. "Cuma saya ambil orderannya hari Minggu saja, hari lainnya saya kerja. Ini untuk meneruskan karya bapak di Pasar Induk," kata Miswadi.
Tidak hanya melukis di badan truk saja, Miswadi juga sering mendapatkan order membuat plang nama toko. "Plang nama Pasar Induk Cipinang itu karya bapak saya. Saya juga kadang menerima order nama atau merek toko. Kalau order dari sekolah banyak, cuma saya enggak mau ambil lahan (rezeki) orang," ucapnya Miswadi.
Buyung bercerita dirinya tidak menyangka pernah menjadi teman karib Sultan Yogyakarta ke-10 tersebut. Buyung berbagi pengalamannya saat mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) Keputran 1, Yogyakarta. Tidak semua orang bisa menempuh pendidikan di sekolah khusus bangsawan itu. Buyung bisa bersekolah di sana lantaran sang kakek merupakan abdi dalem keraton Yogyakarta.
"Saya dulu manggil Sri Sultan itu Gusti Her. Nama aslinyan kan Herjuno Darpito," ujar Buyung. Momen yang tidak pernah dilupakannya saat istirahat sekolah, Buyung dibelikan es dan sate.
Kebetulan saat itu yang berjualan jajanan adalah ibunda Buyung. "Minum es, makan sate dan main bareng. Dia selalu beli di tempat ibu dan membelikannya untuk saya," tambahnya.
Saking rindunya kepada teman masa kecilnya, pada awal tahun 2000-an, Buyung mengajak serta keluarganya mengunjungi Keraton Yogyakarta. Birokrasi dan penjagaan yang begitu ketat pun memupus harapan Buyung untuk bertemu Sri Sultan.
"Sebelum tahun 2000 saya ke sana, menunggu di Alun-alun cuma enggak bisa, birokrasinya rumit dan takut dibilang ngaku-ngaku. Saya cuma duduk di pagar saja. Bahkan anak saya belikan kaus bertuliskan Keraton untuk mengobati keinginan saya. Bertemu beliau itu yang belum terwujud sampai saat ini," jelasnya.
Sesekali Buyung membeberkan kecintaannya terhadap seni tumbuh di sekolah rakyat tersebut. Sebut saja Idris Sardi dan WS Rendra yang menjadi kakak kelasnya di sekolah tersebut membuatnya cinta terhadap seni.
"Seni saya tumbuh di Yogyakarta. Soal jiwa seni Yogyakarta memang tempat seniman semua, banyak di asah di sana," terangnya. Nama panggilan Buyung didapat saat dirinya melukis foto di Jembatan Item Jatinegara.
Bergelut dengan kuas dan cat yang merupakan peralatan lukisnya sejak tahun 1970. Suwarno alias Buyung (70) sang pelukis badan truk menyatakan 70% lukisan di truk-truk di Pasar Induk Cipinang merupakan hasil karyanya. Buyung pun menjelaskan, hasil karyanya memiki ciri khas warna dominan merah dan agak berbayang.
Selain itu juga selalu dituliskan kata 'Semoga Selamat' di badan truk. Kata 'Semoga Selamat' itu dituliskan setelah sebelumnya dirinya menulis tentang kata-kata horor yang akhirnya truk tersebut mengalami kecelakaan. Di usia yang lanjut, kondisi fisik Buyung tak lagi memungkinkan untuk berkarya.
Karena sekeliling kebanyakan orang Padang, dia pun ikut terbawa logatnya. Sampai para konsumennya pun memanggil Buyung. Kini teman kecil Sri Sultan Hamengku Buwono X terbaring lemah ditemani anak dan cucu di rumah sederhana di Prumpung, Jakarta Timur. Sementara usaha lukis badan truk telah diwariskan kepada Miswadi anak keempatnya.
Buyung pun mewariskan keterampilannya kepada Miswadi (35) anak keempatnya. "Saya belajar lukis otodidak. Karena kondisi kesehatan saya yang enggak stabil, anak saya yang melanjutkan," jelas Buyung.
Sejak tahun 2005, Mawardi membantu sang ayah untuk melukis badan truk di Pasar Induk Beras Cipinang hingga saat ini. "Cuma saya ambil orderannya hari Minggu saja, hari lainnya saya kerja. Ini untuk meneruskan karya bapak di Pasar Induk," kata Miswadi.
Tidak hanya melukis di badan truk saja, Miswadi juga sering mendapatkan order membuat plang nama toko. "Plang nama Pasar Induk Cipinang itu karya bapak saya. Saya juga kadang menerima order nama atau merek toko. Kalau order dari sekolah banyak, cuma saya enggak mau ambil lahan (rezeki) orang," ucapnya Miswadi.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.