Mungkin anda pernah mendengar atau melihat upacara membaca rambang. Ya, upacara membaca rambang di Tegal erat kaitannya dengan peninggalan kuna berupa tulisan. Tulisan tersebut berbentuk huruf Jawa dan huruf Arab, yang dituliskan pada daun lontar dan kertas buram. Tulisan tersebut hingga kini masih dapat dibaca, namun juga ada sebagian yang sudah rusak.
Kata “rambang” berasal dari kata “lambang” atau “perlambang”, yang dalam bahasa Jawa bermakna kawruh (petunjuk-petunjuk dan petuah-petuah yang berintikan falsafah hidup manusia yang berdasarkan ajaran Islam). Upacara membaca rambang diselenggarakan setiap tahun sekali oleh masyarakat setempat.
Dalam lintasan sejarah, upacara membaca rambang telah dilakukan sejak abad ke-17 atau lebih disebut dengan zaman “Kewalian”. Upacara membaca rambang juga bisa dikatakan sebagai media dan sarana penyebaran agama Islam.
Konon, tulisan rambang yang terdapat di Desa Danaraja ini berasal dari Umar Said atau Sunan Kalijaga. Semula tulisan tersebut berasal dari daerah Ponorogo. Karena pada waktu itu di daerah Tegal ada seorang ulama bear yang berperan dalam pengembangan Islam, yang bernama Seh Jambu Karang, maka Sunan Kalijaga mengutus empat orang sahabat atau pengikutnya untuk menyampaikan tulisan rambang tersebut kepada Seh Jambu Karang.
Keempat orang tersebut bernama Wira Soma Tjakraningrat Maha Dewa, Wira Digdaya, Wira Manggala, dan Siti Jembawati. Usai keempat orang tersebut sampai di Tegal, rambang tadi diberikan kepada Seh Jambu Karang yang kemudian digunakan untuk kepentingan pengembangan agama Islam. Hingga kini, rambang tersebut masih dipelihara oleh masyarakat Danaraja.
Upacara membaca rambang dilakukan pada Bulan Besar atau tepatnya pada 10 Zulhijjah dan dilaksanakan setelah Shalat Ied, yaitu antara pukul 08.00 menjelang Shalat Dzuhur. Pada upacara tersebut disertakan aneka macam sesaji yang memiliki perlambang. Seperti dua buah ketupat dan dua buah lepet dengan rasa tawar, yang bermakna tingkah-laku atau tindak-tanduk yang baik; kolak pisang raja yang bermakna menghargai leluhur; wedang kopi campur santan satu gelas, bermakna yang kaya menghargai yang miskin, demikian pula sebaliknya; dan kepolo pendhem lengkap masing-masing satu buah, yang bermakna jangan sampai berbicara dusta.
Kata “rambang” berasal dari kata “lambang” atau “perlambang”, yang dalam bahasa Jawa bermakna kawruh (petunjuk-petunjuk dan petuah-petuah yang berintikan falsafah hidup manusia yang berdasarkan ajaran Islam). Upacara membaca rambang diselenggarakan setiap tahun sekali oleh masyarakat setempat.
Dalam lintasan sejarah, upacara membaca rambang telah dilakukan sejak abad ke-17 atau lebih disebut dengan zaman “Kewalian”. Upacara membaca rambang juga bisa dikatakan sebagai media dan sarana penyebaran agama Islam.
Konon, tulisan rambang yang terdapat di Desa Danaraja ini berasal dari Umar Said atau Sunan Kalijaga. Semula tulisan tersebut berasal dari daerah Ponorogo. Karena pada waktu itu di daerah Tegal ada seorang ulama bear yang berperan dalam pengembangan Islam, yang bernama Seh Jambu Karang, maka Sunan Kalijaga mengutus empat orang sahabat atau pengikutnya untuk menyampaikan tulisan rambang tersebut kepada Seh Jambu Karang.
Keempat orang tersebut bernama Wira Soma Tjakraningrat Maha Dewa, Wira Digdaya, Wira Manggala, dan Siti Jembawati. Usai keempat orang tersebut sampai di Tegal, rambang tadi diberikan kepada Seh Jambu Karang yang kemudian digunakan untuk kepentingan pengembangan agama Islam. Hingga kini, rambang tersebut masih dipelihara oleh masyarakat Danaraja.
Upacara membaca rambang dilakukan pada Bulan Besar atau tepatnya pada 10 Zulhijjah dan dilaksanakan setelah Shalat Ied, yaitu antara pukul 08.00 menjelang Shalat Dzuhur. Pada upacara tersebut disertakan aneka macam sesaji yang memiliki perlambang. Seperti dua buah ketupat dan dua buah lepet dengan rasa tawar, yang bermakna tingkah-laku atau tindak-tanduk yang baik; kolak pisang raja yang bermakna menghargai leluhur; wedang kopi campur santan satu gelas, bermakna yang kaya menghargai yang miskin, demikian pula sebaliknya; dan kepolo pendhem lengkap masing-masing satu buah, yang bermakna jangan sampai berbicara dusta.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.