Sudah lama saya ingin memotret bangunan kelenteng Kong Hwie Kiong yang berada di jl Pramuka No 41 Kebumen yang di bangun pada 1898, namun baru kesampaian pada hari Sabtu 23 Juli 2016. Kelenteng Kong Hwie Kiong dibangun pertama kali oleh Liem Kik Gwan seorang letnan keturunan Tionghoa pada tahun 1898. Liem Kik Gwan merupakan seorang petugas pengumpul pajak (Kong Sin)
bagi orang-orang Tionghoa untuk diserahkan kepada Belanda. Kelenteng
dibangun sebagai tempat ibadah warga keturunan Tionghoa yang saat itu
jumlahnya sudah cukup banyak. Keberadaan Kelenteng Kong Hwie Kiong ini memang tidak bisa lepas dari sejarah Kabupaten Kebumen.
Kelenteng yang usianya jauh lebih tua dari usia Kabupaten Kebumen itu,
telah menunjukkan eksistensinya menjaga kerukunan umat beragama di
kabupaten dengan slogan Beriman ini. Kelenteng yang sudah berumur 118 tahun sejak dibangun pertama kali ini
terdapat 15 altar dan 37 patung dewa-dewi (rupang). Adapun dewa yang
menjadi tuan rumah di keleteng itu adalah Thian Shang Senmu atau Dewi
Samudera. Selain itu, banyak pula yang memuja dewa Hok Tek Ceng Sin.
Seksi Rumah Tangga Kelenteng Kong Hwie Kiong Kebumen, Tjen Lay menyampaikan, kelenteng yang berdiri di sisi timur Sungai Luk Ulo itu mengalami kerusakan berat akibat perang. Saat perang kemerdekaan itu, bangunan kelenteng runtuh. Bahkan sejumlah bagian hancur, kecuali beberapa tembok yang masih bertahan hingga sekarang. Sebab kala dalam agresi Belanda I sekitar tahun 1946, warga Tionghoa meninggalkan Kebumen untuk mengungsi ke Yogyakarta.
Sampai tahun 1950, sebagian warga Tionghoa pulang kembali ke Kebumen. Akan tetapi karena berbagai hal, baru pada tahun 1969, kelenteng dipugar kembali. Bangunan tahun 1969 itulah yang masih kokoh berdiri hingga saat ini. "Adapun bangunan asli yang masih tersisa hanya tembok sisi kanan, kiri dan bagian belakang," ujar Tjen Lay.
Bagi masyarakat keturunan Tionghoa, kelenteng bukan sekadar tempat sembahyang para penganut Tri Dharma yakni Budha, Konghucu, dan Taoisme. Kelenteng mempunyai fungsi sosial, yakni sebagai pemersatu dan mempererat persaudaraan antara warga Tionghoa. Apalagi dalam rangkaian perayaan Imlek, intensitas warga berkumpul di tempat ini meningkat.
Semarak Perayaan Imlek
Saat Imlek, masyarakat Tionghoa biasanya menggelar ritual Jut Bio untuk merayakan Capgome atau hari ke-15 Imlek. Dalam ritual Jut Bio mereka mengarak patung Kong Co dan Mak Co (dewadewi) keliling kota Kebumen tersebut berlangsung semarak. Ritual arak-arakan tersebut biasanya dimulai sekitar pukul 14.30. Patung dewa-dewi dikeluarkan dari Kelenteng Kong Hwie Kiong Kebumen. Kemudian kemudian dikirab mengelilingi jalan protokol meliputi Pahlawan, memutari alun-alun, Letjen Sutoyo, Kolonel Sugiono, dan kembali ke kelenteng.
Adapun patung dewa-dewi yang akan diarak ialah tuan rumah Kelenteng Kong Hwie Kiong yakni Mak Co ‘’Thian Shang Ze Mu’’, yakni Dewi penguasa laut. Ikut diundang juga tuan rumah Kelenteng Hok Tek Bio Gombong, Kong Co ‘’Hok Tek Cin Sin’’ atau disebut sebagai Dewa Bumi. Arak-arakan dewa-dewi tersebut dikawal barongsai dan liong samsi. Kesenian tradisional berupa tarian tek-tek khas Kebumen juga ikut memeriahkan. Menariknya, rombongan santri yang tergabung dalam Komunitas Gusdurian juga mengikuti kirab budaya Capgomeh tersebut.
Wujudkan Kerukunan, Santri Belajar Ke Kelenteng
Kelenteng Kong Hwie Kiong ini juga pernah digunakan para pelajar muslim dan juga santri unuk belajar. Salah satunya 3 tahun lalu ketika santri Pondok Pesantren Al Falah Somalangu Wetan Desa Sumberadi Kecamatan/Kabupaten Kebumen, belajar budaya Tionghoa untuk lebih memahami toleransi, keberagaman, dan pluralisme.
Budaya Tionghoa mereka pelajari dengan berkunjung ke Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) Kong Hwie Kiong Kebumen, pada Sabtu (16/11/2013). Kunjungan santri dipimpim Gus Hakam Ulvi, putra pengasuh Pondok Pesantren Al Falah KH Musyafa Ali.
"Kunjungan santri ke kelenteng agar mengenal, menghormati, peduli akan keragaman budaya. Terlebih lagi hidup di Indonesia yang multi etnik dan multi agama. Saling menghormati itu wajib hukumnya," tandas Ulvi yang mengajak warga Tionghoa berkunjung ke Pondok Pesantren Al Falah. Dia berharap, dengan kunjungannya itu dapat mempererat tari silaturahmi antara Ponpes Al Falah dengan Klenteng Kong Hwie Kiong, sehingga kerukunan umat beragama di Kabupaten Kebumen benar-benar terjaga.
“Kita wajib menghormati perbedaan. Memberikan pengertian kerukunan umat beragama sangat penting. Dengan ini semua akan tercipta budaya saling menghormati, tidak ada diskriminasi dan menghancurkan kerukunan,” ujar kiai muda itu.
Di Kelenteng Kong Hwie Kiong yang dibangun tahun 1898, santri disambut hangat Ketua Yayasan TITD Kong Hwie Kiong, Sugeng Budiawan, bersama pengurus dan warga Tionghoa yang lain. Sugeng tersanjung dengan kunjungan santri. Apalagi baru pertama menerima kunjungan santri. "Kami terbuka untuk siapa saja yang ingin belajar budaya. Untuk santri yang berkunjung, baru santri Pondok Pesantren Al Falah yang berkunjung ke kelenteng," ujar Sugeng.
Di kelenteng yang berada di Jalan Pramuka Kebumen itu, santri mendapat penjelasan filosofi dari simbol atau ornamen yang ada di dalam maupun di luar kelenteng. Permainan barongsai juga dipertontonkan pada santri yang semuanya baru pertama datang ke kelenteng.
"Rasanya senang bisa belajar budaya Tionghoa dengan datang ke kelenteng. Meski hanya sekilas, namun ada banyak yang bisa diambil hikmahnya," tutur Vika (18) santri yang juga pelajar SMK Al Falah.
Kapolres Kebumen saat itu AKBP Faizal hadir karena menganggap kunjungan santri ke kelenteng sangat penting. "Kerukunan adalah dasar yang kuat untuk saling menghormati dan menghargai. Dengan begitu, keamanan dan ketertiban selalu terjaga dengan baik," tegasnya.
Siswa SMP Muhammadiyah Belajar di Kelenteng Kong Hwie Kiong
Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Kong Hwie Kiong Kebumen kembali menerima kunjungan dari sekolah Islam pada 9 November 2014. Sebanyak 250 siswa SMP Muhammadiyah 2 Kebumen berkunjung ke tempat ibadah warga Tionghoa. Selain untuk menjaga kerukunan umat beragama di Kabupaten Kebumen, kedatangan pelajar kelas 7, 8, dan 9 itu juga untuk mengasah kemampuan mereka dalam berbahasa Mandarin. Sebab, di sekolah yang berada dibawah naungan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kebumen itu ternyata terdapat mata pelajaran Bahasa Mandarin.
Saat itu, didampingi oleh lima guru, rombongan diterima langsung oleh Ketua Yayasan TITD Kong Hwie Kiong Sugeng Budiawan, dan pengurus Klenteng yang berada di Jalan Pramuka Kebumen itu. Seperti Hendro Purwoko, Lin Tjen Lay, Lun Pao, dan pengurus lainnya. Sejumlah siswa tak canggung menanyakan keberadaan klenteng, mulai dari sejarah hingga proses peribadatan, dengan menggunakan Bahasa Mandarin. Pengurus klenteng pun dengan sabar melayani pertanyaan-pertanyaan itu dengan bahasa nenek moyang mereka.
Ketua Yayasan Hwie Kiong, Sugeng Budiawan, mengaku surprise mendapat kunjungan dari ratusan pelajar muslim. Dia mengungkapkan, kunjungan itu merupakan yang pertama kalinya dilakukan SMP Muhammadiyah 2 Kebumen . “Kami sangat senang dengan kunjungan ini, sehingga terbuka komunikasi. Kami juga sangat terbuka bagi pihak manapun yang ingin berkunjung,” tutur pemilik Muncul Group ini.
Seksi Rumah Tangga Kelenteng Kong Hwie Kiong Kebumen, Tjen Lay menyampaikan, kelenteng yang berdiri di sisi timur Sungai Luk Ulo itu mengalami kerusakan berat akibat perang. Saat perang kemerdekaan itu, bangunan kelenteng runtuh. Bahkan sejumlah bagian hancur, kecuali beberapa tembok yang masih bertahan hingga sekarang. Sebab kala dalam agresi Belanda I sekitar tahun 1946, warga Tionghoa meninggalkan Kebumen untuk mengungsi ke Yogyakarta.
Sampai tahun 1950, sebagian warga Tionghoa pulang kembali ke Kebumen. Akan tetapi karena berbagai hal, baru pada tahun 1969, kelenteng dipugar kembali. Bangunan tahun 1969 itulah yang masih kokoh berdiri hingga saat ini. "Adapun bangunan asli yang masih tersisa hanya tembok sisi kanan, kiri dan bagian belakang," ujar Tjen Lay.
Bagi masyarakat keturunan Tionghoa, kelenteng bukan sekadar tempat sembahyang para penganut Tri Dharma yakni Budha, Konghucu, dan Taoisme. Kelenteng mempunyai fungsi sosial, yakni sebagai pemersatu dan mempererat persaudaraan antara warga Tionghoa. Apalagi dalam rangkaian perayaan Imlek, intensitas warga berkumpul di tempat ini meningkat.
Semarak Perayaan Imlek
Saat Imlek, masyarakat Tionghoa biasanya menggelar ritual Jut Bio untuk merayakan Capgome atau hari ke-15 Imlek. Dalam ritual Jut Bio mereka mengarak patung Kong Co dan Mak Co (dewadewi) keliling kota Kebumen tersebut berlangsung semarak. Ritual arak-arakan tersebut biasanya dimulai sekitar pukul 14.30. Patung dewa-dewi dikeluarkan dari Kelenteng Kong Hwie Kiong Kebumen. Kemudian kemudian dikirab mengelilingi jalan protokol meliputi Pahlawan, memutari alun-alun, Letjen Sutoyo, Kolonel Sugiono, dan kembali ke kelenteng.
Adapun patung dewa-dewi yang akan diarak ialah tuan rumah Kelenteng Kong Hwie Kiong yakni Mak Co ‘’Thian Shang Ze Mu’’, yakni Dewi penguasa laut. Ikut diundang juga tuan rumah Kelenteng Hok Tek Bio Gombong, Kong Co ‘’Hok Tek Cin Sin’’ atau disebut sebagai Dewa Bumi. Arak-arakan dewa-dewi tersebut dikawal barongsai dan liong samsi. Kesenian tradisional berupa tarian tek-tek khas Kebumen juga ikut memeriahkan. Menariknya, rombongan santri yang tergabung dalam Komunitas Gusdurian juga mengikuti kirab budaya Capgomeh tersebut.
Wujudkan Kerukunan, Santri Belajar Ke Kelenteng
Kelenteng Kong Hwie Kiong ini juga pernah digunakan para pelajar muslim dan juga santri unuk belajar. Salah satunya 3 tahun lalu ketika santri Pondok Pesantren Al Falah Somalangu Wetan Desa Sumberadi Kecamatan/Kabupaten Kebumen, belajar budaya Tionghoa untuk lebih memahami toleransi, keberagaman, dan pluralisme.
Budaya Tionghoa mereka pelajari dengan berkunjung ke Tempat Ibadat Tri Dharma (TITD) Kong Hwie Kiong Kebumen, pada Sabtu (16/11/2013). Kunjungan santri dipimpim Gus Hakam Ulvi, putra pengasuh Pondok Pesantren Al Falah KH Musyafa Ali.
"Kunjungan santri ke kelenteng agar mengenal, menghormati, peduli akan keragaman budaya. Terlebih lagi hidup di Indonesia yang multi etnik dan multi agama. Saling menghormati itu wajib hukumnya," tandas Ulvi yang mengajak warga Tionghoa berkunjung ke Pondok Pesantren Al Falah. Dia berharap, dengan kunjungannya itu dapat mempererat tari silaturahmi antara Ponpes Al Falah dengan Klenteng Kong Hwie Kiong, sehingga kerukunan umat beragama di Kabupaten Kebumen benar-benar terjaga.
“Kita wajib menghormati perbedaan. Memberikan pengertian kerukunan umat beragama sangat penting. Dengan ini semua akan tercipta budaya saling menghormati, tidak ada diskriminasi dan menghancurkan kerukunan,” ujar kiai muda itu.
Di Kelenteng Kong Hwie Kiong yang dibangun tahun 1898, santri disambut hangat Ketua Yayasan TITD Kong Hwie Kiong, Sugeng Budiawan, bersama pengurus dan warga Tionghoa yang lain. Sugeng tersanjung dengan kunjungan santri. Apalagi baru pertama menerima kunjungan santri. "Kami terbuka untuk siapa saja yang ingin belajar budaya. Untuk santri yang berkunjung, baru santri Pondok Pesantren Al Falah yang berkunjung ke kelenteng," ujar Sugeng.
Di kelenteng yang berada di Jalan Pramuka Kebumen itu, santri mendapat penjelasan filosofi dari simbol atau ornamen yang ada di dalam maupun di luar kelenteng. Permainan barongsai juga dipertontonkan pada santri yang semuanya baru pertama datang ke kelenteng.
"Rasanya senang bisa belajar budaya Tionghoa dengan datang ke kelenteng. Meski hanya sekilas, namun ada banyak yang bisa diambil hikmahnya," tutur Vika (18) santri yang juga pelajar SMK Al Falah.
Kapolres Kebumen saat itu AKBP Faizal hadir karena menganggap kunjungan santri ke kelenteng sangat penting. "Kerukunan adalah dasar yang kuat untuk saling menghormati dan menghargai. Dengan begitu, keamanan dan ketertiban selalu terjaga dengan baik," tegasnya.
Siswa SMP Muhammadiyah Belajar di Kelenteng Kong Hwie Kiong
Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Kong Hwie Kiong Kebumen kembali menerima kunjungan dari sekolah Islam pada 9 November 2014. Sebanyak 250 siswa SMP Muhammadiyah 2 Kebumen berkunjung ke tempat ibadah warga Tionghoa. Selain untuk menjaga kerukunan umat beragama di Kabupaten Kebumen, kedatangan pelajar kelas 7, 8, dan 9 itu juga untuk mengasah kemampuan mereka dalam berbahasa Mandarin. Sebab, di sekolah yang berada dibawah naungan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kebumen itu ternyata terdapat mata pelajaran Bahasa Mandarin.
Saat itu, didampingi oleh lima guru, rombongan diterima langsung oleh Ketua Yayasan TITD Kong Hwie Kiong Sugeng Budiawan, dan pengurus Klenteng yang berada di Jalan Pramuka Kebumen itu. Seperti Hendro Purwoko, Lin Tjen Lay, Lun Pao, dan pengurus lainnya. Sejumlah siswa tak canggung menanyakan keberadaan klenteng, mulai dari sejarah hingga proses peribadatan, dengan menggunakan Bahasa Mandarin. Pengurus klenteng pun dengan sabar melayani pertanyaan-pertanyaan itu dengan bahasa nenek moyang mereka.
Ketua Yayasan Hwie Kiong, Sugeng Budiawan, mengaku surprise mendapat kunjungan dari ratusan pelajar muslim. Dia mengungkapkan, kunjungan itu merupakan yang pertama kalinya dilakukan SMP Muhammadiyah 2 Kebumen . “Kami sangat senang dengan kunjungan ini, sehingga terbuka komunikasi. Kami juga sangat terbuka bagi pihak manapun yang ingin berkunjung,” tutur pemilik Muncul Group ini.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.