Ada yang istimewa dengan tampilan halaman pertama pencarian Google. Pada hari ini, Google mamajang doodle Daeng Soetigna. Daeng merupakan figur yang dikenal sebagai pencipta Angklung
diatonis. Google hari ini memperingati hari ulang tahun ke-108 pencipta
Angklung tersebut. Daeng tercatat lahir pada 13 Mei 1908 di Garut, Jawa
Barat dan meninggal pada usia 75 tahun di Bandung pada 8 April 1984. Maka hari ini, Jumat (13/5/2016) Google
menandai hari jadinya yang ke-108 meskipun ia sudah lebih dulu berpulang
pada 8 April 1984 silam.
Lalu, apa yang membuat Daeng begitu spesial hingga dibuatkan doodle? Ternyata, pria kelahiran Garut tersebut adalah pencipta angklung diatonis. Namanya dikenal sebagai orang terhormat di kalangan pemusik tanah air. Semasa hidupnya, Daeng aktif menggelar pementasan orkes angklung di seluruh wilayah Indonesia. Karyanya berhasil mendobrak tradisi. Ia mampu membuat alat musik tradisional yang bisa memainkan musik-musik internasional.
Sejak tahun 1928, Daeng memulai karirnya sebagai guru kesenian. Pada 1942, saat Jepang datang ke Indonesia, Daeng ditunjuk sebagai Kepala Sekolah HIS (belakangan namanya berubah jadi Sekolah Rakyat). Tak berselang lama, ia memiliki sekolah sendiri pada 1950. Daeng juga sempat mengenyam pendidikan keguruan di Australia dan pulang sebagai konsultan pendidik untuk pemerintah. Dengan jabatan yang tinggi, Daeng tak lantas merasa eksklusif. Ia masih aktif mengajarkan angklung kepada sekelompok anak Sekolah Dasar.
Perjuangannya mengangkat musik angklung dari kelas rendahan ke kelas konser papan atas membuat namanya harum hingga kini. Google pun turut menghormati perjuangan Daeng dengan memperingati hari ulang tahunnya.
Tokoh Doodle Hari Ini, Daeng Soetigna Sang Bapak Angklung Diatonis
Mengutip situs Kementerian Pendidikan, Jumat 13 Mei 2016, dua tokoh yang berperan dalam perkembangan Angklung di Jawa Barat adalah Daeng Soetigna sebagai bapak Angklung Diatonis Kromatis dan Udjo Ngalagena yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog dan salendro. Pada 1983, Daeng menciptakan Angklung dan tangga nada diatonis. Angklung inovasi Daeng itu berbeda dengan angklung pada umumnya yang berdasarkan tangga nada tradisional pelog atau salendro.
Inovasi Daeng itu membuat angklung dengan leluasa bisa dimainkan harmonis bersama alat musik barat sampai disajikan dalam orkestra. Berkat inovasinya itu, Angklung semakin populer hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNESCO pada November 2010 mengakui Angklung sebagai warisan dunia yang harus dilestarikan. Bicara soal riwayat, Angklung berasal dari bahasa Sunda, angkleung-angkleungan yaitu gerakan pemain Angklung dan membentuk suara klung yang dihasilkannya.
Secara etimologis angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Jadi, Angklung merujuk pada nada yang pecah atau tidak lengkap. Bentuk Angklung terdiri dari dua atau lebih batang bambu dalam berbagai ukuran sesuai dengan kebutuhan tinggi rendahnya nada yang dibentuk menyerupai alat musik calung.
Menurut penulis Groneman, Angklung telah ada di Nusantara, bahkan sebelum era Hindu. Menurut Jaap Kunst dalam bukunya Music in Java, selain di Jawa Barat, angklung juga bisa ditemui di daerah Sumatra Selatan dan Kalimantan. Di luar itu, masyarakat Lampung, Jawa Timur dan Jawa Tengah juga mengenal alat musik tersebut.
Di lingkungan Kerajaan Sunda (abad ke 12 – abad ke16) , Angklung dimainkan sebagai bentuk pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Sri (dewi padi/dewi kesuburan). Selain itu, konon Angklung juga merupakan alat musik yang dimainkan sebagai pemacu semangat dalam peperangan, sebagaimana yang diceritakan dalam Kidung Sunda. Angklung memiliki beberapa jenis, antara lain Angklung Kanekes, Angklung Dogdog Lojor, Angklung Gubrag, dan Angklung Padaeng.
Setelah Daeng Soetigna, salah seorang muridnya, Udjo Ngalagena, meneruskan usaha Sang Guru mempopulerkan Angklung temuannya, dengan jalan mendirikan “Saung Angklung” di daerah Bandung. Hingga hari ini, tempat yang kemudian dikenal sebagai “Saung Angklung Udjo” tersebut masih menjadi pusat kreativitas yang berkenaan dengan Angklung.
Karya Daeng Soetigna Yang Mendunia
Lalu, apa yang membuat Daeng begitu spesial hingga dibuatkan doodle? Ternyata, pria kelahiran Garut tersebut adalah pencipta angklung diatonis. Namanya dikenal sebagai orang terhormat di kalangan pemusik tanah air. Semasa hidupnya, Daeng aktif menggelar pementasan orkes angklung di seluruh wilayah Indonesia. Karyanya berhasil mendobrak tradisi. Ia mampu membuat alat musik tradisional yang bisa memainkan musik-musik internasional.
Sejak tahun 1928, Daeng memulai karirnya sebagai guru kesenian. Pada 1942, saat Jepang datang ke Indonesia, Daeng ditunjuk sebagai Kepala Sekolah HIS (belakangan namanya berubah jadi Sekolah Rakyat). Tak berselang lama, ia memiliki sekolah sendiri pada 1950. Daeng juga sempat mengenyam pendidikan keguruan di Australia dan pulang sebagai konsultan pendidik untuk pemerintah. Dengan jabatan yang tinggi, Daeng tak lantas merasa eksklusif. Ia masih aktif mengajarkan angklung kepada sekelompok anak Sekolah Dasar.
Perjuangannya mengangkat musik angklung dari kelas rendahan ke kelas konser papan atas membuat namanya harum hingga kini. Google pun turut menghormati perjuangan Daeng dengan memperingati hari ulang tahunnya.
Tokoh Doodle Hari Ini, Daeng Soetigna Sang Bapak Angklung Diatonis
Mengutip situs Kementerian Pendidikan, Jumat 13 Mei 2016, dua tokoh yang berperan dalam perkembangan Angklung di Jawa Barat adalah Daeng Soetigna sebagai bapak Angklung Diatonis Kromatis dan Udjo Ngalagena yang mengembangkan teknik permainan berdasarkan laras-laras pelog dan salendro. Pada 1983, Daeng menciptakan Angklung dan tangga nada diatonis. Angklung inovasi Daeng itu berbeda dengan angklung pada umumnya yang berdasarkan tangga nada tradisional pelog atau salendro.
Inovasi Daeng itu membuat angklung dengan leluasa bisa dimainkan harmonis bersama alat musik barat sampai disajikan dalam orkestra. Berkat inovasinya itu, Angklung semakin populer hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui UNESCO pada November 2010 mengakui Angklung sebagai warisan dunia yang harus dilestarikan. Bicara soal riwayat, Angklung berasal dari bahasa Sunda, angkleung-angkleungan yaitu gerakan pemain Angklung dan membentuk suara klung yang dihasilkannya.
Secara etimologis angklung berasal dari kata “angka” yang berarti nada dan “lung” yang berarti pecah. Jadi, Angklung merujuk pada nada yang pecah atau tidak lengkap. Bentuk Angklung terdiri dari dua atau lebih batang bambu dalam berbagai ukuran sesuai dengan kebutuhan tinggi rendahnya nada yang dibentuk menyerupai alat musik calung.
Menurut penulis Groneman, Angklung telah ada di Nusantara, bahkan sebelum era Hindu. Menurut Jaap Kunst dalam bukunya Music in Java, selain di Jawa Barat, angklung juga bisa ditemui di daerah Sumatra Selatan dan Kalimantan. Di luar itu, masyarakat Lampung, Jawa Timur dan Jawa Tengah juga mengenal alat musik tersebut.
Di lingkungan Kerajaan Sunda (abad ke 12 – abad ke16) , Angklung dimainkan sebagai bentuk pemujaan terhadap Nyai Sri Pohaci sebagai lambang Dewi Sri (dewi padi/dewi kesuburan). Selain itu, konon Angklung juga merupakan alat musik yang dimainkan sebagai pemacu semangat dalam peperangan, sebagaimana yang diceritakan dalam Kidung Sunda. Angklung memiliki beberapa jenis, antara lain Angklung Kanekes, Angklung Dogdog Lojor, Angklung Gubrag, dan Angklung Padaeng.
Setelah Daeng Soetigna, salah seorang muridnya, Udjo Ngalagena, meneruskan usaha Sang Guru mempopulerkan Angklung temuannya, dengan jalan mendirikan “Saung Angklung” di daerah Bandung. Hingga hari ini, tempat yang kemudian dikenal sebagai “Saung Angklung Udjo” tersebut masih menjadi pusat kreativitas yang berkenaan dengan Angklung.
Karya Daeng Soetigna Yang Mendunia
Daeng Soetigna mempunyai latar belakang guru serta pemusik angklung.
Ia menjadi pegawai negeri sebagai guru pada 1928 di sebuah sekolah di
Garut. Pada 1964, ia pensiun dan mulai berfokus menggeluti musik
angklung.
Ketika Daeng Soetigna pensiun sebagai pegawai negari sipil tahun 1964 (saat berumur 56 tahun). Dengan bebasnya dia dari tugas rutin sebagai pegawai pemerintah, maka dia pun aktif mengembangkan angklung. Dia melatih di berbagai kelompok angklung. Mulai dari usia Sekolah Dasar (SD), suster di gereja RS Borromeus, hingga perkumpulan ibu-ibu militer. Namanya semakin melejit ketika dia berhasil menciptakan angklung diatonis. Ya, karya terbesar Pak Daeng Soetigna adalah memodifikasi Angklung yang tadinya bernada pentatonis menjadi diatonis. Angklung ini kemudian diberi nama kehormatan sebagai Angklung Padaeng.
Prestasi Daeng mencapai titik puncaknya saat berhasil memodifikasi angklung yang bernada pentatonik menjadi diatonik. Angklung ini kemudian diberi nama kehormatan sebagai angklung Padaeng (Pak Daeng) yang kemudian dipentaskan di berbagai penjuru dunia. Karyanya inilah yang berhasil mendobrak tradisi, membuat alat musik tradisional Indonesia mampu bersanding dengan musik-musik Internasional, seperti yang juga ditemukan di alat musik gamelan.
Selain penemuan angklung diatonik, Daeng Soetogna memainkan puluhan aransemen lagu angklung dengan angklung Padaeng ciptaannya. Ia pun menjadi salah satu pionir untuk menjadikan alat musik Indonesia dikenal di seluruh dunia.
Atas prestasi dan jasanya bagi Indonesia, Daeng Soetigna mendapatkan beberapa penghargaan dari pemerintah. Berikut ini penghargaan-penghargaan tersebut.
1. Piagam Penghargaan atas Jasa di Bidang Kesenian dari Gubernur Jawa Barat Brigjen Mashudi, 28 Februari 1968.
2. Piagam Penghargaan dalam Rangka Mendorong Pertumbuhan, Pemekaran, dan Pengembangan Kesenian Angklung di Ibu Kota dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, 10 September 1968.
3. Tanda Kehormatan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Republik Indonesia Soeharto, 15 Oktober 1968
4. Piagam Penghargaan atas Jasa dalam Pembinaan dan Pengembangan Kesenian Daerah, Khususnya Seni Angklung, dari Gubernur Jawa Barat H.A. Kunaefi, 17 Agustus 1979.
Ketika Daeng Soetigna pensiun sebagai pegawai negari sipil tahun 1964 (saat berumur 56 tahun). Dengan bebasnya dia dari tugas rutin sebagai pegawai pemerintah, maka dia pun aktif mengembangkan angklung. Dia melatih di berbagai kelompok angklung. Mulai dari usia Sekolah Dasar (SD), suster di gereja RS Borromeus, hingga perkumpulan ibu-ibu militer. Namanya semakin melejit ketika dia berhasil menciptakan angklung diatonis. Ya, karya terbesar Pak Daeng Soetigna adalah memodifikasi Angklung yang tadinya bernada pentatonis menjadi diatonis. Angklung ini kemudian diberi nama kehormatan sebagai Angklung Padaeng.
Prestasi Daeng mencapai titik puncaknya saat berhasil memodifikasi angklung yang bernada pentatonik menjadi diatonik. Angklung ini kemudian diberi nama kehormatan sebagai angklung Padaeng (Pak Daeng) yang kemudian dipentaskan di berbagai penjuru dunia. Karyanya inilah yang berhasil mendobrak tradisi, membuat alat musik tradisional Indonesia mampu bersanding dengan musik-musik Internasional, seperti yang juga ditemukan di alat musik gamelan.
Selain penemuan angklung diatonik, Daeng Soetogna memainkan puluhan aransemen lagu angklung dengan angklung Padaeng ciptaannya. Ia pun menjadi salah satu pionir untuk menjadikan alat musik Indonesia dikenal di seluruh dunia.
Atas prestasi dan jasanya bagi Indonesia, Daeng Soetigna mendapatkan beberapa penghargaan dari pemerintah. Berikut ini penghargaan-penghargaan tersebut.
1. Piagam Penghargaan atas Jasa di Bidang Kesenian dari Gubernur Jawa Barat Brigjen Mashudi, 28 Februari 1968.
2. Piagam Penghargaan dalam Rangka Mendorong Pertumbuhan, Pemekaran, dan Pengembangan Kesenian Angklung di Ibu Kota dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, 10 September 1968.
3. Tanda Kehormatan Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden Republik Indonesia Soeharto, 15 Oktober 1968
4. Piagam Penghargaan atas Jasa dalam Pembinaan dan Pengembangan Kesenian Daerah, Khususnya Seni Angklung, dari Gubernur Jawa Barat H.A. Kunaefi, 17 Agustus 1979.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.