Dapatkah pihak manapun melakukan blokir karena situs yang dituju merugikan kepentingannya? Jawabannya: dapat. Mengapa dapat dilakukan? Jawabannya adalah karena tidak ada aturan yang melarang termasuk Peraturan Menteri Kominfo No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif.
Bila berkaca pada blokir layanan video streaming Netflix oleh Telkom Group pada 27 Januari 2016, penjelasan pihak Telkom lewat media menyebutkan paling tidak ada tiga alasan yang mencuat lewat penjelasan Direktur Utama Telkom Alex Janangkih Sinaga dan Direktur Consumer PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) Dian Rachmawan, yaitu:
1. Tidak memenuhi regulasi di Indonesia
2. Memuat konten berbau pornografi
3. Melindungi konsumen dari konten film yang belum disensor oleh lembaga yang berwenang mengacu UU No. 33/2009 tentang Perfilman khususnya Pasal 57.
Dari ketiga alasan tersebut tidak satupun yang mengacu pada Peraturan Menteri Kominfo No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Sekalipun apabila dicek di daftar TRUST+ Positif, situs diblokir dengan alasan pornografi, namun dalam diskusi Forum Demokrasi Digital, Menkominfo memberi klarifikasi bahwa yang diblokir bukan Netflix.com sekalipun database TRUST+ Positif mencatat demikian.
Dengan sendirinya, poin 2 gugur. Poin 3 juga tidak cukup kuat karena tingkat kesulitan Lembaga Sensor Film untuk melakukan sensor ribuan konten Netflix sebelum penayangan, namun juga bukan berarti tidak ada solusi.
Layanan Netflix di setiap negara berbeda, sehingga Indonesia dapat meminta Netflix untuk melakukan swasensor atau tidak menayangkan video yang mengandung kekerasan, pornografi, SARA kepada Netflix.
Lalu apa maksud poin 1 Telkom bahwa Netflix sebagai layanan over the top (OTT) tidak memenuhi regulasi? Persoalan OTT asing harus taat pada regulasi di Indonesia dengan memiliki badan usaha yang diakui di Indonesia memang sudah lama mencuat sejak OTT dinyatakan merugikan operator.
Dalam hitungan Ovum, revenue operator dari layanan sandek (SMS) di seluruh dunia telah anjlok USD 23 miliar pada tahun 2012, dan kerugian ini diprediksi terus meningkat hingga mencapai USD 58 miliar pada tahun 2016.
Di Indonesia sendiri, data ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia) mengungkap belanja modal operator yang dihabiskan untuk peningkatan jaringan dan layanan data selama 2011 berkisar Rp 30 Triliun dimana 90% dipakai untuk mengembangkan jaringan, sedang pada 2012 porsinya sebanyak 60%. Namun, dana yang diinvestasikan tidak sebanding keuntungan yang diperoleh operator.
Oleh karena itu perlu juga dipertimbangkan unsur bahwa blokir sepihak ini apakah bagian dari alat tawar Telkom kepada Netflix agar mendapat keuntungan? Kalau benar unsur ini yang lebih kuat, wajar bila menimbulkan pertanyaan apakah karena konflik kepentingan diperbolehkan blokir atas nama bisnis? Sekali lagi aturan yang ada sekarang tidak melarang dan oleh karenanya harus dirombak total.
Menyusun Tata Kelola Blokir yang Cerdas
Pertengahan Januari 2016 lalu, Indonesia kedatangan pakar tata kelola internet Jovan Kurbalija. Ia mengatakan banyak bisnis digital yang sebenarnya belum ada payung hukumnya karena sifat kebaruannya. Untuk itu ia menyarankan dua hal:
1. We can not stop peer to peer services
2. We should not stop the new services.
Karena aturan hukumnya belum ada dan perlu segera disusun, maka paling tidak yang bisa dilakukan oleh negara-negara yang diterpa oleh layanan OTT ini adalah menarik pajak dari bisnis ini dengan cara mendesak mereka membuka kantor perwakilan sehingga bisnis mereka bisa dikenai aturan pajak yang berlaku. Uang pajak digunakan untuk membangun/memperbaiki infrastruktur bisnis.
Bila berkaca pada blokir layanan video streaming Netflix oleh Telkom Group pada 27 Januari 2016, penjelasan pihak Telkom lewat media menyebutkan paling tidak ada tiga alasan yang mencuat lewat penjelasan Direktur Utama Telkom Alex Janangkih Sinaga dan Direktur Consumer PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) Dian Rachmawan, yaitu:
1. Tidak memenuhi regulasi di Indonesia
2. Memuat konten berbau pornografi
3. Melindungi konsumen dari konten film yang belum disensor oleh lembaga yang berwenang mengacu UU No. 33/2009 tentang Perfilman khususnya Pasal 57.
Dari ketiga alasan tersebut tidak satupun yang mengacu pada Peraturan Menteri Kominfo No. 19 Tahun 2014 tentang Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif. Sekalipun apabila dicek di daftar TRUST+ Positif, situs diblokir dengan alasan pornografi, namun dalam diskusi Forum Demokrasi Digital, Menkominfo memberi klarifikasi bahwa yang diblokir bukan Netflix.com sekalipun database TRUST+ Positif mencatat demikian.
Dengan sendirinya, poin 2 gugur. Poin 3 juga tidak cukup kuat karena tingkat kesulitan Lembaga Sensor Film untuk melakukan sensor ribuan konten Netflix sebelum penayangan, namun juga bukan berarti tidak ada solusi.
Layanan Netflix di setiap negara berbeda, sehingga Indonesia dapat meminta Netflix untuk melakukan swasensor atau tidak menayangkan video yang mengandung kekerasan, pornografi, SARA kepada Netflix.
Lalu apa maksud poin 1 Telkom bahwa Netflix sebagai layanan over the top (OTT) tidak memenuhi regulasi? Persoalan OTT asing harus taat pada regulasi di Indonesia dengan memiliki badan usaha yang diakui di Indonesia memang sudah lama mencuat sejak OTT dinyatakan merugikan operator.
Dalam hitungan Ovum, revenue operator dari layanan sandek (SMS) di seluruh dunia telah anjlok USD 23 miliar pada tahun 2012, dan kerugian ini diprediksi terus meningkat hingga mencapai USD 58 miliar pada tahun 2016.
Di Indonesia sendiri, data ATSI (Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia) mengungkap belanja modal operator yang dihabiskan untuk peningkatan jaringan dan layanan data selama 2011 berkisar Rp 30 Triliun dimana 90% dipakai untuk mengembangkan jaringan, sedang pada 2012 porsinya sebanyak 60%. Namun, dana yang diinvestasikan tidak sebanding keuntungan yang diperoleh operator.
Oleh karena itu perlu juga dipertimbangkan unsur bahwa blokir sepihak ini apakah bagian dari alat tawar Telkom kepada Netflix agar mendapat keuntungan? Kalau benar unsur ini yang lebih kuat, wajar bila menimbulkan pertanyaan apakah karena konflik kepentingan diperbolehkan blokir atas nama bisnis? Sekali lagi aturan yang ada sekarang tidak melarang dan oleh karenanya harus dirombak total.
Menyusun Tata Kelola Blokir yang Cerdas
Pertengahan Januari 2016 lalu, Indonesia kedatangan pakar tata kelola internet Jovan Kurbalija. Ia mengatakan banyak bisnis digital yang sebenarnya belum ada payung hukumnya karena sifat kebaruannya. Untuk itu ia menyarankan dua hal:
1. We can not stop peer to peer services
2. We should not stop the new services.
Karena aturan hukumnya belum ada dan perlu segera disusun, maka paling tidak yang bisa dilakukan oleh negara-negara yang diterpa oleh layanan OTT ini adalah menarik pajak dari bisnis ini dengan cara mendesak mereka membuka kantor perwakilan sehingga bisnis mereka bisa dikenai aturan pajak yang berlaku. Uang pajak digunakan untuk membangun/memperbaiki infrastruktur bisnis.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.