Jalan-jalan sesat adalah sengaja membuat diri tersesat untuk mengetahui sesuatu. Dan tanpa sadar saya teringat dengan Urban Philosophy saat sekolah dulu. Konsep manusia metropolis ala Simmel menyatakan bahwa modernitas bisa diselami jika kita mencemplungkan diri kedalam realita jalanan. Blusukan istilah pak Jokowi atau Urban Flaneur istilah penulis Perancis Baudlaire atau saya lebih senang menggunakan istilah jalan-jalan sesat.
Bedanya sosok Flaneur yang juga dikupas penulis filsafat Jerman, Walter Benjamin adalah untuk manusia urban yang punya waktu luang jalan-jalan atau strolling.
Dalam jalan-jalan itu, si Flaneur mengobservasi, mencatat, merenung dan untuk situasi saya, flaneur di diri saya, acap menemukan solusi-solusi praktis tidak terduga.
Akhirnya harus saya syukuri, tanpa saya melakukan jalan-jalan sesat, tidaklah mungkin saya bisa memahami mentalitas manusia dan kompleksitas urban dalam keseharian.
Dalam jalan-jalan sesat ini, kita juga tidak bisa dibohongi karena kita banyak di jalan memotret problem lapangan baik dengan mata kamera maupun lensa mata.
Dalam jalan-jalan sesat sering kita menyelinap ke dalam heningnya malam. Pergi ke gunung untuk merenung. Banyak gagasan besar hadir dengan cara ini. Konsep solitude ini mempraktikkan pemikiran Nietzsche dalam karyanya "Thus Spoke Zarathustra". Dimana mencari supremasi dan konsep nilai hanya didapat dengan menjauhkan diri dari hingar bingar modernitas kota. Konsep besar lahir dari kejernihan pikir. Banyak hal lahir dari jalan-jalan sesat.
Dengan jalan-jalan sesat, sesekali harus berada di langitan membangun gagasan besar ala Nietzsche. Sesekali harus membumi berkotor-kotor pada realita jalanan ala Benjamin. Di embusan angin jalanan itu lahir ragam solusi dan empati. Dan bukan tidak mungkin, dari ide-ide jalanan akan lahir gagasan-gagasan besar untuk Indonesia yang lebih hebat.
Dengan jalan-jalan sesat saya menemukan banyak jawaban. Jalan-jalan sesat adalah kebutuhan. Mari jalan-jalan sesat dan jangan pakai tapi. Jalan-jalan sesat tentulah sangat menantang adrenalin. Setiap perjalanan akan membuat ceritanya sendiri, menembus ribuan kerangka-kerangka karangan yang pernah terkonsep, membuat konflik-konflik mahadahsyat, dan menemui hal-hal yang luar biasa. Saya selalu percaya bahwa perjalanan yang mengesankan bukan terletak ke mana kita akan pergi, tetapi kita menikmati setiap mozaik dari perjalanan itu.
Bedanya sosok Flaneur yang juga dikupas penulis filsafat Jerman, Walter Benjamin adalah untuk manusia urban yang punya waktu luang jalan-jalan atau strolling.
Dalam jalan-jalan itu, si Flaneur mengobservasi, mencatat, merenung dan untuk situasi saya, flaneur di diri saya, acap menemukan solusi-solusi praktis tidak terduga.
Akhirnya harus saya syukuri, tanpa saya melakukan jalan-jalan sesat, tidaklah mungkin saya bisa memahami mentalitas manusia dan kompleksitas urban dalam keseharian.
Dalam jalan-jalan sesat ini, kita juga tidak bisa dibohongi karena kita banyak di jalan memotret problem lapangan baik dengan mata kamera maupun lensa mata.
Dalam jalan-jalan sesat sering kita menyelinap ke dalam heningnya malam. Pergi ke gunung untuk merenung. Banyak gagasan besar hadir dengan cara ini. Konsep solitude ini mempraktikkan pemikiran Nietzsche dalam karyanya "Thus Spoke Zarathustra". Dimana mencari supremasi dan konsep nilai hanya didapat dengan menjauhkan diri dari hingar bingar modernitas kota. Konsep besar lahir dari kejernihan pikir. Banyak hal lahir dari jalan-jalan sesat.
Dengan jalan-jalan sesat, sesekali harus berada di langitan membangun gagasan besar ala Nietzsche. Sesekali harus membumi berkotor-kotor pada realita jalanan ala Benjamin. Di embusan angin jalanan itu lahir ragam solusi dan empati. Dan bukan tidak mungkin, dari ide-ide jalanan akan lahir gagasan-gagasan besar untuk Indonesia yang lebih hebat.
Dengan jalan-jalan sesat saya menemukan banyak jawaban. Jalan-jalan sesat adalah kebutuhan. Mari jalan-jalan sesat dan jangan pakai tapi. Jalan-jalan sesat tentulah sangat menantang adrenalin. Setiap perjalanan akan membuat ceritanya sendiri, menembus ribuan kerangka-kerangka karangan yang pernah terkonsep, membuat konflik-konflik mahadahsyat, dan menemui hal-hal yang luar biasa. Saya selalu percaya bahwa perjalanan yang mengesankan bukan terletak ke mana kita akan pergi, tetapi kita menikmati setiap mozaik dari perjalanan itu.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.