Kemajuan teknologi informasi yang tak terbendung membuat kelahiran angkutan umum berbasis aplikasi online tidak akan bisa dilarang. Kehadiran mereka terutama di kota besar seperti di Jakarta yang mobilitas warganya tinggi, sementara sistem dan menajemen transportasinya belum baik, sangat membantu masyarakat dan sangat efisien. Kehadiran mereka sangat membantu, makanya jangan dilarang tetapi diatur. Antusiasme publik terhadap angkutan umum berbasis aplikasi online sebenarnya bisa menjadi catatan bagi pemerintah bahwa rakyat sudah sangat merindukan sistem transportasi massal yang efisien dan nyaman. Juga jadi peringatan bagi perusahaan angkutan umum konvensional terutama taksi untuk terus berinovasi memberi kenyaman pelanggannya, termasuk mulai memikirkan menggunakan aplikasi online. Kalau tidak, Anda akan ditinggal konsumen.
Menurut pandangan saya, aksi besar-besaran para supir taksi pada 22 Maret 2016 karena mereka menganggap 'diganggu' dengan angkutan umum lain yang lebih efisien berbasis aplikasi online dan ternyata banyak dipilih orang. Kondsi ini mengakibatkan penghasilan mereka berkurang, sementara setoran ke perusahaan tidak mungkin berkurang sehingga mungkin membuat mereka 'frustasi'.
Dari kasus demonstrasi para pengemudi taksi konvensional ini, harusnya pemerintah bisa membaca protes besar-besaran para supir taksi menolak angkutan umum berbasis aplikasi online ini pasti akan pecah, karena kejadian seperti ini juga sudah terjadi di banyak negara antara lain Perancis dan Mexico. Saat ini, baik pengemudi dan perusahaan angkutan konvensional merasa diperlakukan tidak adil kerena mereka diikat berbagai regulasi tetapi angkutan online tidak.
Pemerintah Harus Segera Revisi UU No 22 Tahun 2009
Pemerintah harus segera melahirkan regulasi atau payung hukum untuk angkutan umum berbasis aplikasi. Jangan sampai telat dan malah menimbulkan kembali demo sopir taksi yang rusuh. Aturan hukum yang jelas dan tegas adalah solusi yang paling adil. Jadi regulasi ini nantinya mengarahkan adanya persaingan sehat antara transportasi konvensional dengan online. Pemerintah harus merevisi UU terkait misalnya UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan dan bila perlu UU ITE agar payung hukumnya komprehensif.
Selain itu mereka juga harus patuh pada UU, operator berbasis online harus memilih, apakah bekerjasama dengan operator transportasi publik yang terdaftar atau membentuk badan hukum sendiri yang terdaftar sesuai Undang-Undang. Terkait masalah persaingan usaha, ya biarkan saja nanti mereka bersaing. Masyarakat punya pilihan mana yang lebih bagus, mana lebih efisien. Sehingga semua orang bisa memperbaiki diri dalam koridor peraturan yang sama.
Dalam kasus transportasi publik online vs konvensional seharusnya ridak perlu ada adu domba, pengusaha transportasi yang belum berinovasi teknologi ya segera berinovasi. Begitu pula pengusaha yang belum berijin, ya segera urus ijin sesuai ketentuan UU. Setelahnya, biarkan konsumen bebas memilih dan menentukan pilihannya.
Menurut pandangan saya, aksi besar-besaran para supir taksi pada 22 Maret 2016 karena mereka menganggap 'diganggu' dengan angkutan umum lain yang lebih efisien berbasis aplikasi online dan ternyata banyak dipilih orang. Kondsi ini mengakibatkan penghasilan mereka berkurang, sementara setoran ke perusahaan tidak mungkin berkurang sehingga mungkin membuat mereka 'frustasi'.
Dari kasus demonstrasi para pengemudi taksi konvensional ini, harusnya pemerintah bisa membaca protes besar-besaran para supir taksi menolak angkutan umum berbasis aplikasi online ini pasti akan pecah, karena kejadian seperti ini juga sudah terjadi di banyak negara antara lain Perancis dan Mexico. Saat ini, baik pengemudi dan perusahaan angkutan konvensional merasa diperlakukan tidak adil kerena mereka diikat berbagai regulasi tetapi angkutan online tidak.
Pemerintah Harus Segera Revisi UU No 22 Tahun 2009
Pemerintah harus segera melahirkan regulasi atau payung hukum untuk angkutan umum berbasis aplikasi. Jangan sampai telat dan malah menimbulkan kembali demo sopir taksi yang rusuh. Aturan hukum yang jelas dan tegas adalah solusi yang paling adil. Jadi regulasi ini nantinya mengarahkan adanya persaingan sehat antara transportasi konvensional dengan online. Pemerintah harus merevisi UU terkait misalnya UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan dan bila perlu UU ITE agar payung hukumnya komprehensif.
Selain itu mereka juga harus patuh pada UU, operator berbasis online harus memilih, apakah bekerjasama dengan operator transportasi publik yang terdaftar atau membentuk badan hukum sendiri yang terdaftar sesuai Undang-Undang. Terkait masalah persaingan usaha, ya biarkan saja nanti mereka bersaing. Masyarakat punya pilihan mana yang lebih bagus, mana lebih efisien. Sehingga semua orang bisa memperbaiki diri dalam koridor peraturan yang sama.
Dalam kasus transportasi publik online vs konvensional seharusnya ridak perlu ada adu domba, pengusaha transportasi yang belum berinovasi teknologi ya segera berinovasi. Begitu pula pengusaha yang belum berijin, ya segera urus ijin sesuai ketentuan UU. Setelahnya, biarkan konsumen bebas memilih dan menentukan pilihannya.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.