Akhirnya,
pemerintah Indonesia menaikkan juga harga jual BBM dalam negeri,
dengan mencabut subsidi BMM, sehingga akhirnya harga bensin menjadi
Rp 8500,/liter. Keputusan pemerintah ini tentu akan berdampak multiplyer
effect terhadap inflasi dan kesulitan bagi kita.
Mari
kita coba beriktiyar mencari solusi dengan membuat sendiri peralatan
generator gas Hidrogen, dengan cara sederhana: Elektrolisis Air Murni
(H2O) menjadi gas HHO yang kita masukkan ke dalam saluran udara (Air
Intake) di Karburator Motor atau Mobil Kita. Penjelasan
teknis dan teoritisnya, saudara-saudara dapat mempelajarinya di
situs-situs internet. Dan salah satu tutorialnya bisa di Download di sini.
Sebagai referensi, saya copy kan dari beberapa artikel yang dimuat media cetak.
Belakangan
ini, salah satu yang gencar diwacanakan adalah energi nabati
(biofuel). Amerika Serikat mengembangkan bahan bakar nabati (BBN) dalam
wujud etanol dari jagung, sementara Brasil mengembangkan BBN dari
tebu. Namun, di sini pun kemudian muncul permasalahan, khususnya pada
era ketika harga pangan melonjak. Ada yang menengarai salah satu
penyebab kelangkaan pangan — yang lalu menyebabkan kenaikan harga
pangan — adalah makin sempitnya lahan pertanian untuk tanaman pangan
karena sebagian telah digunakan untuk menanam tanaman BBN.
Kalau dibuat bahan bakar, jelas air / H2O kudu dikomposisi dulu jadi H2 sama O2
Sebagai referensi, saya copy kan dari beberapa artikel yang dimuat media cetak.
*HEMAT BBM DENGAN SUPLEMEN AIR*
Dimuat di Surat Pembaca, Suara Pembaruan, Rabu, 14 Mei 2008
Suplemen air ternyata bisa membuat motor/mobil kita lebih ringan tarikannya,
hemat BBM-nya dan berkurang emisi CO2-nya. Kenapa? karena gas Hidrogen yang
dihasilkan dari pemecahan elemen H2O membuat kinerja pembakaran di mesin
lebih sempurna.
hemat BBM-nya dan berkurang emisi CO2-nya. Kenapa? karena gas Hidrogen yang
dihasilkan dari pemecahan elemen H2O membuat kinerja pembakaran di mesin
lebih sempurna.
Teman kost saya sudah memverifikasi percobaan tersebut. Sebelumnya teknologi
sederhana tepat guna ini sudah dikembangkan secara swadaya oleh Edukasi Gerakan Masyarakat Cinta Air di lereng Merapi. Tepatnya di dusun Sumber Muntilan Jawa Tengah di bawah supervisi Romo Kirjito Pr.
sederhana tepat guna ini sudah dikembangkan secara swadaya oleh Edukasi Gerakan Masyarakat Cinta Air di lereng Merapi. Tepatnya di dusun Sumber Muntilan Jawa Tengah di bawah supervisi Romo Kirjito Pr.
Kekuatan arus listrik 2 A diambil dari accu (aki), lantas dialirkan lewat elektrode ke dalam botol air, sehingga memecah elemen H20 menjadi 2H dan 1O. Gas itulah yang kemudian disalurkan melalui selang kecil ke in take filter. Sedangkan untuk menampung airnya cukup menggunakan botol bekas air mineral, termos anak, toples dll bisa dibaca disini.
–>Metrotvnews.com, Nganjuk:
Kontroversi tentang menghilangnya penemu bahan bakar berbahan dasar
hidrogen, Joko Suprapto, berakhir sudah. Joko Suprapto ternyata tidak
hilang. Ia sedang menenangkan diri di tempat kelahirannya di kawasan
Nganjuk, Jawa Timur. Metro TV yang menemuinya, Jum’at (23/5), Joko Suprapto menyatakan, ia kabur dari proyek blue energy
yang didukung penuh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) untuk menenangkan diri. Dia merasa sudah tidak nyaman lagi dengan
pihak-pihak yang mendukung proyek ini. Joko
menuturkan, dia merasa kerap ditekan oleh pihak-pihak pendukung proyek
dan dipaksa menandatangani kontrak yang mengharuskan dirinya
menyerahkan semua rahasia penemuannya. Joko juga tidak sepakat dengan
terminologi blue energy yang diberikan pemerintah karena dia tidak pernah merasa memberikan nama itu.
Kendati
begitu, Joko mengaku hubungannya dengan pemerintahan Presiden SBY
baik-baik saja. Dia juga meminta maaf kepada Presiden SBY karena belum
sempat berkomunikasi langsung dengan Presiden. Kendati kabur dari proyek blue energy
di Cikeas, Jawa Barat, Joko tetap melanjutkan inovasi untuk
menyempurnakan produksi bahan bakar berbasis hidrogen di sebuah lokasi
di Nganjuk, Jawa Timur. Proses penyempurnaan produk tersebut memerlukan
dana yang sangat besar. Namun, Joko yakin hasil penemuannya nanti bisa
bermanfaat banyak bagi banyak orang. (DOR)
IPTEK
Bahan Bakar Air, Mungkinkah?
Rabu, 7 Mei 2008 | 00:21 WIB
NINOK LEKSONO
”Saya
yakin bahwa suatu hari air akan digunakan sebagai bahan bakar bahwa
hidrogen dan oksigen yang menyusunnya, digunakan sendiri-sendiri atau
bersama-sama, akan menjadi sumber panas dan cahaya yang tidak ada
habisnya, dengan daya yang batu bara tak mampu menghasilkannya.”
(Jules Verne, The Mysterious Island, 1874)
Dunia
dilanda kebingungan. Itu ungkapan yang mungkin bisa digunakan untuk
melukiskan keadaan yang ada sekarang ini. Ketika bahan bakar minyak
(BBM) masih menjadi pilar energi global, harganya cenderung tak
terkendali dan menyusahkan banyak negara, termasuk Indonesia yang harus
pontang-panting menyesuaikan anggaran belanjanya.
Masuk
akal kalau lalu pikiran diarahkan ke energi alternatif. Pikiran ini
memberi kebajikan lain justru ketika dewasa ini ada isu lain yang tidak
kalah mendesak, yakni pemanasan global, di mana pembakaran BBM diyakini
menjadi penyebab utama.
Hanya
saja, meski berfaedah dalam kedua hal di atas, energi alternatif tak
mudah diterapkan dengan alasannya masing-masing, mulai dari tentangan
masyarakat untuk energi nuklir hingga lokasi terbatas untuk energi
geotermal.
Bahan bakar air
Khususnya
dalam pembahasan mengenai energi air ini, ada kalangan yang
mengatakan, sebenarnya selama ini kita dibohongi oleh kalangan ilmiah.
Dengan keberhasilan mengajukan bukti penggunaan air biasa dalam
berbagai mesin, apa yang selama ini diajarkan di bangku sekolah harus
dianggap keliru.
Menurut
situs H2Earth Institute, air biasa kini sudah bisa
digunakan (dibakar) pada mesin internal combustion engine (ICE) atau
turbin, mengolahnya menjadi bahan bakar (fuel on-demand), saat itu juga
(real time), tanpa transportasi atau penyimpanan hidrogen cair atau
terkompresi, alkali kaustik, garam-garam katalis, atau hidrida logam.
Hal
ini bisa dilakukan pada kendaraan bermotor dengan satu alat tambahan
kecil yang ditenagai oleh sistem elektris kendaraan. Jadi, hal ini pada
dasarnya adalah menjadikan air sebagai bahan bakar. Proses
ini hanya menghasilkan uap air sebagai bahan buangan, yang dengan
mudah bisa diambil kembali oleh satu radiator (penukar bahang) dan disirkulasikan kembali di sistem mesin bila dikehendaki.
Gaung di Indonesia
Apa
yang dipromosikan oleh H2Earth Institute boleh jadi sulit dicerna oleh
alam pikir konvensional, betapapun yakinnya lembaga itu atas ide ini. Di
sini, yang dibuat adalah Sel Bahan Bakar Air, yakni teknologi untuk
konversi efisien air menjadi gas bahan bakar (combustible) yang dikenal
sebagai ’hydroxy’ atau ”Gas Brown”. Teknologi ini bisa dikatakan merana
tak dilirik setelah penemunya (Stanley Meyer), demikian pula penemu
senyawa gas baru (Dr Yull Brown), dan ahli teori yang memikirkan
produksi gas tersebut melalui resonansi molekuler (Dr Henry Puharich)
semua meninggal pada pertengahan tahun 1990-an.
Mungkin
yang lebih dekat dengan pengalaman kita sejauh ini adalah apa yang
dikemas dalam konsep hydrogen boost (Lihat situs
www.hydrogen-boost.com). Ini adalah sistem peningkatan kinerja jarak
bensin yang didasarkan pada generator gas hidrogen yang ada pada mesin.
Pengembang sistem ini juga punya sistem lebih lengkap yang bisa
meningkatkan jangkauan kilometer hingga 15-25 persen pada kendaraan
yang diuji.
Seperti
dijelaskan dalam situsnya, hidrogen—bersama dengan kombinasi gas-gas
elektrolisa lain (dalam hal ini adalah Gas Brown)—yang dimasukkan dalam
bagian intake mesin akan meningkatkan penyebaran nyala selama
pembakaran sehingga bahan bakar dalam wujud uap yang bisa dibakar pun
jadi lebih banyak. Manfaat penambahan hidrogen pada mesin pembakaran
internal, termasuk mesin diesel, sudah banyak diselidiki.
Di
Indonesia juga terdengar kabar adanya pemanfaatan energi air ini.
Sebagaimana disampaikan oleh rohaniwan Romo Kirjito di Yogyakarta, April
lalu, rekannya, Joko Sutrisno, telah mencoba sistem ini untuk mobil
dan motor. Kinerjanya untuk jip Katana adalah 1 liter bensin bisa untuk
20 km, sementara untuk motor, 1 liter bisa untuk 120 km.
Air
yang digunakan untuk meningkatkan kinerja bahan bakar ini sekarang
memang baru bersifat suplemen. Itu sebabnya, Joko masih enggan
memublikasikan sistem yang ia gunakan. Cita-cita Joko sendiri, menurut
Romo Kirjito, adalah memanfaatkan teknologi ini untuk menolong orang
desa miskin dalam memperoleh energi efisien.
Kirjito
mengingatkan, ketika AS dan Eropa sudah mulai banyak mendalami
pemanfaatan hidrogen, baik untuk tujuan industri maupun perorangan,
Indonesia pun seyogianya tidak ketinggalan. Sebagaimana
penerapan energi alternatif lain, penerapan energi air sebagai bahan
bakar pun diperkirakan tidak akan lepas dari hambatan.
Jujur
harus diakui bahwa sekarang ini dunia masih didominasi oleh ekonomi
minyak sehingga energi alternatif—meskipun kondisi sekarang sudah masuk
dalam tingkat darurat—tampaknya masih nonprioritas. Adakah
kekuatan yang bisa mewujudkan impian H2Earth Institute untuk memutus
rantai BBM sehingga masyarakat secara seketika, diskontinu, dan radikal
(disruptive) bisa beralih ke teknologi energi baru yang secara
lingkungan, ekonomi, dan politik memberi solusi atas permasalahan yang
ada sekarang ini?
Informasi dari forum Serayamotor.com.
Kalau dibuat bahan bakar, jelas air / H2O kudu dikomposisi dulu jadi H2 sama O2
karena
yg mau dipake “gasnya” sebagai bahan bakar perlu dibuat tabung yg terpisah
pada anode untuk O2 dan katode untuk H2 (anode & katode dipake alloy-Pt
yg tdk terlibat dlm reaksi). Dari
reaksi di atas tidak dapat berjalan auto karena E (cell) < 0 dimana E (cell) =
E (Oxidation) + E (Reduction) jadi butuh bantuan energi dari luar ~ 1.23 V
pada 25 °C.
Dan
ingat karena yang dipakai air murni/aquadest, proses elekrolisisnya sangat
lambat (konduktivitas elektrolisisnya kecil) dan ini yang jadi masalah jika
digunakan sebagai bahan dasar bakar.
Untuk mempercepat reaksi di atas dibutuhkankan “elektrolit” yg larut dalam air
murni dengan harga yg terjangkau, bisa kita pakai garam komplek kation Na+ ato
Li+ (dipake karena potensial elektrode lebih kecil dr H+, sehingga O2
muncul) dengan anion sulfate (SO4)2- (dipake karena tidak mengoksidasi jadi enggak
ngeribetin proses elektrolisis) —> Hofmann voltameter.
Elektrolisis semacam ini tidak dapat mengkonversi 100% energi listrik menjadi
energi kimia hidrogen, memang udah hukum alam kecenderungan menjadi senyawa yg
lebih stabil, karena O2 pada anode terus menerus tereduksi menjadi H2O kembali
& ini menurunkan effisensi. Dalam skala industri hanya dapat 40% dari
proses semacam ini.
Yang lebih cepat lagi & murah, dapat dilakukan reaksi elektrosis pada suhu
tinggi ~ 100°C (butuh 350 Mjoule ~ eff. 41%) & 850°C (bth 225 Mjoule ~
eff. 64%).
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.