Kontinuitas penggunaan bahan bakar fosil (fossil fuel)
memunculkan - paling sedikit dua ancaman serius:
(1) faktor ekonomi, berupa jaminan ketersediaan bahan bakar fosil untuk beberapa dekade mendatang, masalah suplai, harga, dan fluktuasinya.
(2) polusi akibat emisi pembakaran bahan bakar fosil ke lingkungan. Polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung maupun tidak langsung kepada derajad kesehatan manusia.
Polusi langsung bisa berupa gas-gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan UHC (unburn hydrocarbon), juga unsur metalik seperti timbal (Pb). Sedangkan polusi tidak langsung mayoritas berupa ledakan jumlah molekul CO2 yang berdampak pada pemanasan global (Global Warming Potential). Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi (energy resources) ataupun pembawa energi (energy carrier) yang lebih terjamin keberlanjutannya (sustainable) dan lebih ramah lingkungan.
(1) faktor ekonomi, berupa jaminan ketersediaan bahan bakar fosil untuk beberapa dekade mendatang, masalah suplai, harga, dan fluktuasinya.
(2) polusi akibat emisi pembakaran bahan bakar fosil ke lingkungan. Polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak langsung maupun tidak langsung kepada derajad kesehatan manusia.
Polusi langsung bisa berupa gas-gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan UHC (unburn hydrocarbon), juga unsur metalik seperti timbal (Pb). Sedangkan polusi tidak langsung mayoritas berupa ledakan jumlah molekul CO2 yang berdampak pada pemanasan global (Global Warming Potential). Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi (energy resources) ataupun pembawa energi (energy carrier) yang lebih terjamin keberlanjutannya (sustainable) dan lebih ramah lingkungan.
Alkohol untuk bahan bakar
Penggunaan alkohol sebagai bahan bakar mulai diteliti dan
diimplementasikan di USA dan Brazil sejak terjadinya krisis bahan bakar
fosil di kedua negara tersebut pada tahun 1970-an. Brazil tercatat
sebagai salah satu negara yang memiliki keseriusan tinggi dalam
implementasi bahan bakar alkohol untuk keperluan kendaraan bermotor
dengan tingkat penggunaan bahan bakar ethanol saat ini mencapai 40ecara
nasional (Nature, 1 July 2005). Di USA, bahan bakar relatif murah, E85, yang mengandung ethanol 85emakin populer di masyarakat (Nature, 1 July 2005).
Selain ethanol, methanol juga tercatat digunakan sebagai bahan bakar
alkohol di Rusia (Wikipedia), sedangkan Kementrian Lingkungan Hidup
Jepang telah mentargetkan pada tahun 2008 campuran gasolin + ethanol
10kan digunakan untuk menggantikan gasolin di seluruh Jepang. Kementrian
yang sama juga meminta produsen otomotif di Jepang untuk membuat
kendaraan yang mampu beroperasi dengan bahan bakar campuran tersebut
mulai tahun 2003 (The Japan Times, 17 December 2002).
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementrian Negara Riset dan
Teknologi telah mentargetkan pembuatan minimal satu pabrik biodiesel dan
gasohol (campuran gasolin dan alkohol) pada tahun 2005-2006. Selain
itu, ditargetkan juga bahwa penggunaan bioenergy tersebut akan mencapai
30ari pasokan energi nasional pada tahun 2025 (Kompas, 26 Mei 2005).
Ethanol bisa digunakan dalam bentuk murni ataupun sebagai campuran
untuk bahan bakar gasolin (bensin) maupun hidrogen. Interaksi ethanol
dengan hidrogen bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi fuel cell ataupun dalam mesin pembakaran dalam (internal combustion engine)
konvensional. Pada tulisan ini, dibahas secara singkat: (1) dampak
penggunaan ethanol pada mesin pembakaran dalam dengan penyalaan busi (spark ignition), dan (2) implementasi bahan bakar ethanol di Brazil -negara yang telah serius menggunakan bahan bakar ethanol.
Penggunaan ethanol pada mesin pembakaran dalam
Dewasa ini, hampir seluruh mesin pembangkit daya yang digunakan pada
kendaraan bermotor menggunakan mesin pembakaran dalam. Mesin bensin
(Otto) dan diesel adalah dua jenis mesin pembakaran dalam yang paling
banyak digunakan di dunia. Mesin diesel, yang memiliki efisiensi lebih
tinggi, tumbuh pesat di Eropa, sedangkan komunitas USA yang cenderung
khawatir pada tingkat polusi sulfur dan UHC pada diesel, lebih memilih
mesin bensin. Meski saat ini, mutu solar dan mesin diesel yang digunakan
di Eropa sudah semakin baik yang berimplikasi pada rendahnya emisi
sulfur dan UHC. Ethanol yang secara teoritik memiliki angka oktan di
atas standard maksimal bensin, cocok diterapkan sebagai substitusi
sebagian ataupun keseluruhan pada mesin bensin.
Terdapat beberapa karakteristik internal ethanol yang menyebabkan
penggunaan ethanol pada mesin Otto lebih baik daripada gasolin. Ethanol
memiliki angka research octane 108.6 dan motor octane 89.7 ( Yuksel dkk, 2004). Angka tersebut (terutama research octane)
melampaui nilai maksimal yang mungkin dicapai oleh gasolin (pun setelah
ditambahkan aditif tertentu pada gasolin). Sebagai catatan, bensin yang
dijual Pertamina memiliki angka research octane 88 (Website Pertamina) (catatan: tidak tersedia informasi motor octane untuk gasolin di Website Pertamina, namun umumnya motor octane lebih rendah daripada research octane).
Angka oktan pada bahan bakar mesin Otto menunjukkan kemampuannya
menghindari terbakarnya campuran udara-bahan bakar sebelum waktunya (self-ignition). Terbakarnya campuran udara-bahan bakar di dalam mesin Otto sebelum waktunya akan menimbulkan fenomena ketuk (knocking)
yang berpotensi menurunkan daya mesin, bahkan bisa menimbulkan
kerusakan serius pada komponen mesin. Selama ini, fenomena ketuk
membatasi penggunaan rasio kompresi (perbandingan antara volume silinder
terhadap volume sisa) yang tinggi pada mesin bensin. Tingginya angka
oktan pada ethanol memungkinkan penggunaan rasio kompresi yang tinggi
pada mesin Otto. Korelasi antara efisiensi dengan rasio kompresi
berimplikasi pada fakta bahwa mesin Otto berbahan bakar ethanol
(sebagian atau seluruhnya) memiliki efisiensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan bahan bakar gasoline ( Yuksel dkk, 2004),
(Al-Baghdadi, 2003). Untuk rasio campuran ethanol:gasoline mencapai
60:40 tercatat peningkatan efisiensi hingga 10 Yuksel dkk, 2004).
Ethanol memiliki satu molekul OH dalam susunan molekulnya. Oksigen yang
inheren di dalam molekul ethanol tersebut membantu penyempurnaan
pembakaran antara campuran udara-bahan bakar di dalam silinder. Ditambah
dengan rentang keterbakaran (flammability) yang lebar, yakni 4.3
- 19 voldibandingkan dengan gasoline yang memiliki rentang keterbakaran
1.4 - 7.6 vol pembakaran campuran udara-bahan bakar ethanol menjadi
lebih baik -ini dipercaya sebagai faktor penyebab relatif rendahnya
emisi CO dibandingkan dengan pembakaran udara-gasolin, yakni sekitar 4
dkk, 2004). Ethanol juga memiliki panas penguapan (heat of vaporization)
yang tinggi, yakni 842 kJ/kg (Al-Baghdadi, 2003). Tingginya panas
penguapan ini menyebabkan energi yang dipergunakan untuk menguapkan
ethanol lebih besar dibandingkan gasolin. Konsekuensi lanjut dari hal
tersebut adalah temperatur puncak di dalam silinder akan lebih rendah
pada pembakaran ethanol dibandingkan dengan gasolin.
Rendahnya emisi NO, yang dalam kondisi atmosfer akan membentuk NO2 yang
bersifat racun, dipercaya sebagai akibat relatif rendahnya temperatur
puncak pembakaran ethanol di dalam silinder. Pada rasio kompresi 7,
penurunan emisi NOx tersebut bisa mencapai 33ibandingkan terhadap emisi
NOx yang dihasilkan pembakaran gasolin pada rasio kompresi yang sama
(Al-Baghdadi, 2003). Dari susunan molekulnya, ethanol memiliki rantai
karbon yang lebih pendek dibandingkan gasolin (rumus molekul ethanol
adalah C2H5OH, sedangkan gasolin memiliki rantai C6-C12 (Wikipedia)
dengan perbandingan antara atom H dan C adalah 2:1 (Rostrup-Nielsen,
2005)). Pendeknya rantai atom karbon pada ethanol menyebabkan emisi UHC
pada pembakaran ethanol relatif lebih rendah dibandingkan dengan
gasolin, yakni berselisih hingga 130 ppm (Yuksel dkk, 2004).
Dari paparan di atas, terlihat bahwa penggunaan ethanol (sebagian atau
seluruhnya) pada mesin Otto, positif menyebabkan kenaikan efisiensi
mesin dan turunnya emisi CO, NOx, dan UHC dibandingkan dengan penggunaan
gasolin. Namun perlu dicatat bahwa emisi aldehyde lebih tinggi pada
penggunaan ethanol Emeski bahaya emisi aldehyde terhadap lingkungan
adalah lebih rendah daripada berbagai emisi gasolin ( dkk, 2004). Selain
itu, pada prinsipnya emisi CO2 yang dihasilkan pada pembakaran ethanol
juga akan dipergunakan oleh tumbuhan penghasil ethanol tersebut.
Sehingga berbeda dengan bahan bakar fosil, pembakaran ethanol tidak
menciptakan sejumlah CO2 baru ke lingkungan. Terlebih untuk kasus di
Indonesia, dimana bensin yang dijual Pertamina masih mengandung timbal
(TEL) sebesar 0.3 g/L serta sulfur 0.2 wtWebsite Pertamina), penggunaan
ethanol jelas lebih baik dari bensin. Seperti diketahui, TEL adalah
salah satu zat aditif yang digunakan untuk meningkatkan angka oktan
bensin -dan zat ini telah dilarang di berbagai negara di dunia karena
sifat racunnya. Keberadaan sulfur juga menjadi perhatian di USA dan
Eropa karena dampak yang ditimbulkannya bagi kesehatan.
Ethanol murni akan bereaksi dengan karet dan plastik (Wikipedia). Oleh
karena itu, ethanol murni hanya bisa digunakan pada mesin yang telah
dimodifikasi. Dianjurkan untuk menggunakan karet fluorokarbon sebagai
pengganti komponen karet pada mesin Otto konvensional. Selain itu,
molekul ethanol yang bersifat polar akan sulit bercampur secara sempurna
dengan gasolin yang relatif non-polar, terutama dalam kondisi cair.
Oleh karena itu modifikasi perlu dilakukan pada mesin yang menggunakan
campuran bahan bakar ethanol-gasolin agar kedua jenis bahan bakar
tersebut bisa tercampur secara merata di dalam ruang bakar. Salah satu
inovasi pada permasalahan ini adalah pembuatan karburator tambahan
khusus untuk ethanol (Yuksel dkk, 2004). Pada saat langkah hisap, uap
ethanol dan gasolin akan tercampur selama perjalanan dari karburator
hingga ruang bakar Ememberikan tingkat pencampuran yang lebih baik.
Studi kasus penggunaan bahan bakar ethanol di Brazil
Brazil mencanangkan program bahan bakar ethanol dalam skala besar sejak
terjadinya krisis minyak pada era 1970-an (Riberio dkk, 1997). Ethanol
diekstrak dari tebu (sugarcane). Bagian tanaman yang tidak
digunakan dalam produksi gula / ethanol, yakni bagasse, digunakan pula
sebagai bahan bakar untuk distilasi ethanol dan untuk menghasilkan
listrik Ebaik untuk memenuhi kebutuhan listrik pabrik ethanol serta
dijual ke masyarakat. Pembakaran bagasse relatif ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar minyak dan batu bara. Kandungan abu bagasse hanya 2.5dibandingkan batu bara: antara 30-50 dan bagasse juga tidak mengandung sulfur (Wikipedia). Dengan menggunakan bagasse,
pabrik ethanol tidak memerlukan asupan energi dari luar, justru dia
bisa menjual sisa listrik yang dihasilkannya ke masyarakat. Terlebih
karena hal tersebut terjadi di musim panas, manakala pembangkit listrik
tenaga air tidak bisa maksimal dalam memenuhi kebutuhan listrik
masyarakat (Wikipedia).
Posisi program bahan bakar ethanol dan produk sampingnya di Brazil pada periode 2003/2004 (kecual disebutkan lain) adalah:
Areal pertanian : 45,000 m2 pada tahun 2000
Pekerja : 1 juta pekerjaan -(50ertani, 50emrosesan)
Sugarcane : 344 juta ton (50-50 untuk gula dan alkohol)
Gula : 23 juta ton (30ieksport)
Ethanol : 14 juta m3 (7.5 anhydrous, 6.5 hydrated; 2.4ieksport)
Bagasse kering : 50 juta ton
Listrik dihasilkan : 1350 MW (1200 MW dipergunakan pabrik ethanol, 150 MW dijual ke masyarakat) pada tahun 2000
Sumber: Wikipedia
*Sebagai perbandingan, PLTU Suralaya yang merupakan pemasok sekitar
25ebutuhan listrik Jawa-Bali memiliki kapasitas 3,400 MW (Sumber:
Miningindo).
Penggunaan
bahan bakar ethanol (murni ataupun campuran dengan gasolin)
diperhitungkan telah menekan emisi CO2 di Brazil dari tahun 1995-2010
sebesar 293 ton (hipotesis rendah) hingga 461 ton (hipotesis tinggi).
Ini berarti emisi CO2 tahunan yang bisa dikurangi di Brazil adalah
sekitar 12ila menggunakan hipotesis tinggi (Riberio dkk, 1997).
Implementasi bahan bakar ethanol di Brazil tidak selamanya berjalan
mulus. Dukungan politik dan insentif pemerintah diperlukan guna
keberlanjutan program tersebut. Di awal implementasi program penggunaan
bahan bakar ethanol, yakni di era 1980-an, lebih dari 90obil yang
terjual di Brazil adalah mobil yang berbahan bakar khusus ethanol
(Riberio dkk, 1997). Namun tidak lancarnya pasokan ethanol di awal
1990-an menyebabkan penjualan mobil yang sama hanya mencapai kurang dari
1i tahun 1997 (Riberio dkk, 1997). Pada tahun 1997, hanya separuh dari
seluruh jumlah mobil di Brazil yang menggunakan bahan bakar khusus
ethanol, sedangkan sisanya menggunakan campuran gasolin + ethanol
(hingga 22(Riberio dkk, 1997). Sedangkan saat ini, seperti dikemukakan
di awal, 40asokan energi di Brazil berasal dari bioethanol (Nature, 1 July 2005).
Pengaruh terhadap lingkungan
Beberapa ilmuwan Amerika penentang implementasi bioethanol mengangkat
permasalahan lingkungan yang dimunculkan oleh mata rantai produksi
bioethanol. Ilmuwan tersebut menyoroti praktek pembakaran ladang guna
memudahkan panen tebu, kerusakan tanah akibat ancaman terhadap
keanekaragaman hayati, penggunaan air dalam jumlah besar untuk
membersihkan sugarcane, serta erosi tanah yang disebabkan praktek
penanaman tebu (Nature, 1 July 2005). Selain itu, beberapa
kalangan juga mempertanyakan rasio antara energi yang dihasilkan
terhadap energi yang diperlukan dalam produksi ethanol yang hanya
mencapai 1.1 (Rostrup-Nielsen, 2005).
Untuk meminimalkan dampak negatif mata rantai produksi ethanol,
pemerintah Brazil telah mengeluarkan aturan yang melarang pembakaran
ladang sebelum panen tebu; dan sebagai gantinya digunakan mesin pemanen
untuk memudahkan dan mempercepat panen (Wikipedia). Menilai implementasi
ethanol secara kuantitatif, seperti yang dipraktekkan di Brazil,
seharusnya juga perlu diperhitungkan faktor produk samping berupa bagasse
yang menghasilkan listrik (dalam jumlah signifikan) serta efek
pengurangan emisi CO2 yang berkorelasi positif terhadap tingkat
kesehatan masyarakat. Dalam kasus penggunaan bahan bakar hidrogen,
Jacobson dkk (2005) memperkirakan bahwa sekitar 3,700 - 6,400 orang per
tahun akan terselamatkan bila seluruh kendaraan bermotor di USA
bermigrasi menggunakan bahan bakar hidrogen yang dibangkitkan dari
energi angin. Oleh karena itu, bila factor-faktor tersebut turut
diperhitungkan, nampaknya penggunaan bioethanol akan lebih superior
terhadap gasolin. Sedangkan ancaman terhadap keanekaragaman hayati
mungkin bisa dipecahkan dengan menggunakan beberapa tanaman sebagai
sumber ethanol. Meski relatif lebih menyulitkan dalam pengaturannya,
praktek multikultur tersebut diharapkan akan menekan penurunan kualitas
tanah secara radikal.
Kesimpulan
Dua ancaman serius yang muncul akibat ketergantungan terhadap bahan
bakar fosil, yakni: faktor ekonomi (keterbatasan eksplorasi yang
berakibat pada suplai, harga; dan fluktuasinya), serta faktor polusi
bahan bakar fosil yang merugikan lingkungan hidup, mau tidak mau memaksa
umat manusia untuk memikirkan alternatif energi yang lebih terjamin
pengadaannya serta ramah terhadap lingkungan. Gasohol adalah salah satu
alternatif yang memungkinkan transisi ke arah implementasi energi
alternatif berjalan dengan mulus.
Dari sisi teknik pembangkitan daya dan emisi gas buang, ethanol (dalam
bentuk murni ataupun campuran) relatif superior terhadap gasolin.
Penggunaan ethanol sebagai bahan bakar pada mesin pembakaran dalam akan
meningkatkan efisiensi mesin, serta menurunkan kadar emisi gas yang
berbahaya bagi lingkungan (relatif terhadap gasolin). Produk samping
berupa listrik, serta dampak penurunan emisi CO2 merupakan dua nilai
tambah yang sangat berkontribusi positif terhadap lingkungan hidup.
Terdapat beberapa hal yang bisa dipelajari dari Brazil dalam
implementasi bahan bakar bioethanol, yakni: (1) Perlunya diversifikasi
sumber ethanol untuk menghindari penurunan kualitas tanah secara radikal
(2) Implementasi bahan bakar bioethanol lebih baik dimulai dari
pencampuran gasoline + ethanol, bukan dari penggunaan bioethanol 100Hal
tersebut akan menjamin transisi ke arah bioenergy secara lebih mulus
Esembari menyiapkan secara lebih matang seandainya era penggunaan
bioethanol 100ipandang sudah tiba (3) Perlunya kerjasama yang erat
dengan pihak industri otomotif untuk menyediakan kendaraan yang optimal
bagi implementasi bahan bakar gasoline + ethanol (4) Perlu sinergi antar
instansi serta antara pemerintah pusat dan daerah dalam rangka
penyediaan bahan baku, pemrosesan, serta distribusi bahan bakar
bioethanol.
Sumber : Berita IPTEK (12 Juli 2005)
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.