Tradisi pulang kampung (mudik) pada hari Lebaran tampaknya sudah jadi kohesi sosial yang amat kuat bagi sebagian besar masyarakat (perkotaan) di Indonesia. Sekalipun berbekal ala kadarnya, tak menjadi kendala untuk meretas kembali tali kekerabatan. Diperkirakan tahun ini jumlah pemudik mengalami lonjakan 6,14 persen (sekitar 15,8 juta), tahun lalu “hanya” 14,9 juta. Jumlah arus kendaraan, minus sepeda motor, menurut Departemen Perhubungan, mengalami peningkatan sebesar 4,61 persen dari tahun sebelumnya, yakni dari 1.808.150 kendaraan menjadi 1.891.523 kendaraan. Memindahkan jutaan manusia pada waktu bersamaan tentu bukan pekerjaan mudah. Banyak pihak dibuat pusing tujuh keliling oleh tradisi tahunan ini (selain juga diuntungkan).
Ironisnya, kendati hajatan rutin ini terjadi setiap tahun, toh berbagai permasalahan yang mengiringi tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Pemerintah, juga masyarakat, justru semakin “berkelon” dengan multidistorsi yang amat klasik. Setidaknya, "10 bahaya laten" akan menyerimpung arus mudik kali ini, yang jika tidak dikelola dengan kecerdasan tinggi akan menjadi instrumen untuk memporandakan prosesi mudik. Berikut 10 bahaya laten itu.
Pertama, paradigma safety first. Aspek keselamatan dalam sistem manajemen transportasi menjadi prasyarat pertama. Tapi, dalam realitas keseharian--apalagi pada arus mudik--aspek safety acap dipinggirkan, kalah oleh aspek aksesibilitas dan mobilitas. Yang penting penumpangnya terangkut; keselamatan mah nomor buntut. Apalagi transportasi darat, yang terbukti menjadi instrumen efektif pencabut nyawa. Masih digunakannya kereta api sapu jagat--yang bertiwikrama menjadi "kereta komunitas"--adalah bukti bahwa aspek keselamatan bukan menjadi urgensi. Kereta sapu jagat ("kereta komunitas") prinsipnya sami mawon, ya kereta barang yang tidak layak menjadi alat angkut manusia.
Kedua, minimnya keandalan moda transportasi publik. Pemerintah boleh menepuk dada bahwa, dari sisi ketersediaan, sarana transportasi publik cukup memadai. Tapi, pertanyaannya, bagaimana tingkat keandalan sarana transportasi publik itu. Untuk mengatasi kondisi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak, mayoritas pengusaha angkutan bermanuver dengan menggunakan suku cadang kelas dua (palsu) untuk solusinya. Apa lagi yang menjadi pertaruhan atas maraknya penggunaan suku cadang palsu ini selain aspek keselamatan? Bahkan tidak hanya perusahaan bus, moda kereta api pun tidak luput dari fenomena ini. Wajar jika lima tahun terakhir tingkat keandalan moda kereta api menyusut drastis hingga menjadi 80 persen saja. Anehnya, ketika keandalan turun, eh, anggaran biaya perawatan malah dikurangi. Kecelakaan kereta api yang terjadi bertubi-tubi akhir-akhir ini adalah akibat fenomena ini.
Ketiga, pelanggaran tarif batas atas. Kenaikan tarif tuslah pada bus umum memang tidak ada lagi. Pemerintah menggunakan model tarif batas atas (ceiling price) dan batas bawah (floor price). Namun, prakteknya, konsumen bus umum tetap mengalami kenaikan tarif. Sebab, dalam suasana peak season seperti ini, nyaris tidak ada perusahaan bus yang menggunakan floor price. Persoalan tidak berhenti di sini saja, karena banyak awak angkutan yang meminta tarif tambahan, entah untuk membayar tol, uang timer, bahkan untuk "THR". Sialnya, tangan kuasa petugas tidak mampu menertibkan aksi nakal ini. Sanksi yang diberikan terbukti tidak cukup ampuh untuk menimbulkan efek jera.
Keempat, maraknya penggunaan sepeda motor. Mudik dengan sepeda motor kini menjadi tren tak terhindarkan. Departemen Perhubungan mengestimasi jumlah pemudik sepeda motor tahun ini mencapai 2,5 juta unit, naik 18,08 persen (pada 2007 sebanyak 2,1 juta sepeda motor). Tapi yang sangat merisaukan dari maraknya penggunaan sepeda motor adalah aspek keselamatannya. Betapapun efisiennya (secara ekonomi), sepeda motor bukan tipe kendaraan yang layak untuk perjalanan jarak jauh. Tidak aneh jika selama 14 hari arus mudik pada 2007 lalu, di wilayah Jawa-Bali dan Sumatera saja 256 nyawa tercerabut akibat kecelakaan sepeda motor (data resmi Mabes Polri).
Kelima, minimnya akses informasi. Pelanggaran hak-hak publik (konsumen) terjadi tak hanya pada pelanggaran tarif. Umumnya situasi mudik menciptakan suasana semrawut, crowded, dan panik. Namun, di tengah kondisi semacam ini nyaris tidak ada informasi yang bisa diakses oleh konsumen secara utuh: tak ada tempat bagi konsumen untuk bertanya dan mengadu. Posko yang disediakan pemerintah terlihat kurang efektif karena ditempatkan pada posisi terpojok, kalah oleh ingar-bingar iklan rokok, yang kini marak di terminal dan stasiun. Posko partai politik pun hanya menjadi pajangan tak berfungsi. Tak pelak, banyak pemudik yang menjadi santapan empuk calo, preman terminal, atau oknum lain yang nyaru.
Keenam, titik rawan kemacetan. Nyaris tidak ada mudik tanpa bumbu kemacetan. Selain volume kendaraan meningkat tajam, fenomena macet juga dipicu oleh masalah klasik, seperti jalan rusak dan bottle neck, atau pasar tumpah (kondisi ini sepertinya sudah given). Berkaitan dengan jalan rusak, sungguh aneh jika perbaikannya selalu dilakukan saat menjelang mudik Lebaran tiba.
Ketujuh, tidak optimalnya fungsi jalur alternatif. Untuk menghindari titik rawan kemacetan, jalur alternatif bisa menjadi solusi. Tapi, faktanya, jalur alternatif ini terbukti tidak efektif mengatasi kemacetan, karena mayoritas tidak berminat menggunakannya. Selain kontur jalannya tidak rata dan berkelok-kelok, tidak ada petunjuk arah yang jelas. Akibatnya, jalan alternatif justru sering menyesatkan pemudik. Biasanya pada jalur alternatif tidak ada petugas resmi yang berjaga (yang ada hanya “pak ogah”, yang tak jarang memasok informasi keliru).
Kedelapan, bencana alam. Tidak jarang arus mudik mengalami kekacauan karena faktor bencana alam, khususnya banjir atau tanah longsor. Memang, menurut laporan BMG, hujan deras tidak akan terjadi selama arus mudik kali ini. Artinya, ancaman banjir dan tanah longsor bukanlah hantu yang menakutkan. Meski demikian, titik rawan yang acap menjadi langganan banjir dan tanah longsor (seperti Banyumas) tetap harus diwaspadai.
Kesembilan, perilaku nakal pemudik. Perilaku pemudik memberikan kontribusi signifikan terhadap lancar-tidaknya arus mudik. Salah satunya adalah menyerobot jalur yang bukan miliknya. Perilaku ini biasanya akan menyumbat arus dari arah sebaliknya. Perilaku nakal semacam ini akan menimbulkan kemacetan berjam-jam. Tidak mudah bagi petugas untuk mengurai kembali jika terjadi kenakalan semacam ini. Tindakan tegas petugas kepolisian layak ditimpakan kepada pemudik berkarakter semacam ini.
Kesepuluh, lemahnya law enforcement. Arus mudik adalah sikon tidak normal. Banyak aturan dilanggar, tapi dibiarkan saja oleh petugas. Misalnya, banyak pemudik yang menggunakan mobil bak terbuka (hanya ditutup terpal plastik) dan melewati jalan tol pula. Ini jelas pelanggaran, tapi toh petugas hanya bengong melompong. Sebagaimana pengguna sepeda motor, mobil bak terbuka tidak memenuhi standar keselamatan untuk mudik.
Pemerintah tidak bisa mengklaim berhasil mengelola arus mudik jika parameternya hanya mampu memindahkan 15,8 juta pemudik. Akan lebih fair kalau parameter keberhasilannya adalah minimnya kecelakaan yang merenggut nyawa, termasuk pengguna sepeda motor. Petugas harus lebih sigap, tegas, dan proaktif dalam mengendalikan arus lalu lintas yang memiliki potensi crowded sangat tinggi. Juga bagi para pemudik, apa pun moda transportasi yang digunakan, seharusnya lebih rasional dan bijak. Jangan mengedepankan perilaku egoistis, serakah, dan mau menang sendiri (sok raja jalanan!), yang justru akan memperluas tingkat kesemrawutan lalu lintas di jalan raya. Seharusnya 10 bahaya laten itu tidak akan terjadi jika ada sinergi yang kuat antara petugas, operator, dan awak angkutan moda transportasi publik, plus pemudik itu sendiri. Betapapun, perbaikan sarana transportasi publik, baik dari sisi akses, mobilitas, maupun keandalan, adalah prasyarat utama untuk merombak karut-marut mudik Lebaran.
Sumber:
Tulus Abadi,
Anggota Pengurus Harian YLKI
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.