Guru,
bukan hanya sekedar sosok yang dihormati dalam masyarakat, tapi
sekaligus dihindari. Banyak paradox yang melingkupinya di masyarakat.
Termasuk beragam label yang melengkapi keberadaan profesi yang satu ini.
Tetapi meski bagaimanapun juga, guru tetap ada dan dibutuhkan
masyarakat dalam berproses membangun keadaban.
Almarhum Ayah |
Sebagai
pengajar, keberadaannya dikaitkan dengan keteladanan. Idiom Jawa
menempatkan guru sebagai sosok yang harus “digugu” dan “ditiru”. Dalam
terjemahan bebas, saya artikan sebagai sosok yang harus dipercaya dan
diteladani. Pada konsep ini seorang guru dituntut memiliki integritas
antara kata dan perbuatan.
Posisi
demikian, terasa berat untuk disandang oleh siapapun. Sehingga menjadi
guru, idealnya melalui proses seleksi yang panjang. Baik dari aspek
kompetensi maupun kepribadian. Dilakukan secara akademik maupun social.
Sehingga pada gilirannya sosok seperti yang diidiomkan tersebut
terpenuhi.
Namun
di sisi yang lain, posisi guru yang berat tersebut bersanding dengan
pemahaman, bahwa pendidik bukanlah profesi komersil. Pengabdian,
demikianlah kata untuk menjelaskan pemahaman tersebut. Sebagai pengabdi,
totalitas profesi tersebut berpadanan dengan kata tidak boleh menuntut.
Harus ikhlas, tanpa hal tersebut maka ‘kehormatan’ guru dapat runtuh.
Hal ini tidak akan menjadi persoalan apabila guru memang tidak
‘dituntut’, namun apabila guru dituntut oleh keadaan dan juga
masyarakat? Maka ‘pengabdian’semata bisa menjadi sumber persoalan.
Pahlawan
tanpa tanda jasa, demikian himne yang dipatrikan untuk guru. Syair
tersebut mengakar dalam masyarakat. Sehingga di era ‘ekonomi’ ini, guru
bersepadan dengan penghasilan yang serba terbatas. Kenyataannya memang
demikian. Pemahaman ini dapat membuat siapa saja yang telah sadar secara
ekonomi, dengan halus dan juga tegas menolak untuk menjadi guru.
Kecuali ketika anak-anak. Pada tahapan inilah sebenarnya paradok itu
bermula.
Posisi
yang dihormati, teladan, dan berat untuk dijalani semestinya adalah
posisi yang lahir dari proses seleksi yang kompetitif. Terbatas, dan
bukan untuk sembarang orang. Profesi yang disandang oleh orang-orang
special yang lulus uji kompetensi akademik dan social. Tetapi ternyata,
profesi ini tidak diminati, karena alasan-alasan ekonomi. Walhasil,
profesi guru belum menjadi cita-cita bagi putra-putra terbaik di negeri
ini. Ada yang menjadi guru, karena tak ada profesi lain yang dapat
menerima. Termasuk pilihan utama ketika seseorang menentukan pilihan di
perguruan tinggi, dengan pasti ; kuliah di Fakultas Keguruan dan ingin
menjadi guru. Apalagi pilihan bagi mereka yang dinobatkan sebagai
lulusan terbaik di SMA atau perguruan tinggi. Ironis memang, dan akan
terus demikian ketika aroma financial masih menghantui perjalanan
profesi ini. Di negeri ini memang telah ada perbaikan, namun belum ada
sebuah pernyataan tegas bahwa upaya tersebut cukup signifikan.
Potensi profesi dan kompetensi guru
Pertanyaan
mendasarnya, sampai kapan persoalan ini tuntas? Nanti, setelah ada
upaya serius dari pemerintah untuk menjalankan UUD 45 secara murni dan
konsekuen. Sebab di negeri ini besaran persentase anggaran jelas-jelas
di tuangkan. Agak aneh memang, namun pengalaman berbangsa-lah yang
membuat para pengambil kebijakan perlu melakukan hal tersebut. Meski
hingga kini pelaksanaannya masih “compang-camping”, dan belum terlihat
nyata dan menyeluruh dirasakan oleh para pendidik di negeri ini.
Lagi-lagi terganjal oleh “mental birokrat”. Siapapun yang prihatin
pada situasi ini, jelas tak bisa menunggu pada ‘kebaikan’ para
pengambil kebijakan itu. Bagaimana? Ini juga masih merupakan persoalan.
Mungkinkah
guru ditempatkan dan berproses seperti apa yang menjadi ideal-idealnya?
Apakah hanya persoalan financial, lalu ‘runtuh’ proses-proses yang
dibutuhkan? Profesi ini tidak hanya terhormat, tetapi juga diminati
sehingga melahirkan kompetisi yang ketat. Pada akhirnya sosok
penyandangnya adalah pribadi-pribadi ‘terpilih’. Atau panggilan menjadi
guru, dapat bersanding dengan pemahaman, pengabdian karena
berkelimpahan, secara financial, spiritual, mental dan banyak lagi yang
dibutuhkan masyarakat? Artinya, guru adalah “orang kaya” yang sedang
berbagi. Pada pemahaman ini maka guru bukanlah sosok yang ‘kekurangan’
dengan banyak ‘keluhan’. Dengan begitu menjadi guru adalah benar-benar
pilihan dan panggilan hidup.
Saya
suka dengan kalimat, menjadi guru adalah ‘pilihan’. Karena ketika
menjadi pilihan, guru bukan profesi sekedarnya. Seseorang bisa menjadi
‘apa saja’ tetapi dia mau menjadi guru. Bukan karena semata-mata tak ada
lapangan pekerjaan lain yang mau menerima. Seperti bisa saja seseorang
membeli mobil dan mengendarainya, tetapi memilih sepeda. Dari rasa,
jelas ini berbeda. Jika hanya karena itu bisanya, maka akan berbeda jika
memang itu pilihannya. Seperti padanan naik sepeda tadi. Akan berbeda
jika seseorang hanya bisa membeli sepeda dan mengendarai sepeda dengan
seseorang yang naik sepeda meski bisa membeli dan mengendarai mobil.
Profesi
guru, sebenarnya bukanlah profesi yang dapat membuat seseorang miskin
secara financial. Ada banyak peluang yang terbuka lebar terkait
kompetensi yang dimiliki oleh seorang guru. Bahkan tak dimiliki oleh
profesi yang dianggap paling menjanjikan sekalipun. Namun sejauh mana
potensi tersebut digarap dan memberi kelimpahan bagi seorang guru? Ini
perlu upaya serius.
Potensi apa saja yang dapat memberi peluang bagi guru untuk berkelimpahan itu?
1
. Pengetahuan
Calon
pebisnis selalu menganggap modal materi sebagai ukuran utama, tetapi
pebisnis handal melihat ‘isi kepalanya’ sebagai modal utama. Ada gagasan
di sana, yang dalam pembangunan sebuah usaha sangat dibutuhkan. Uang
bisa dicari jika ide berhasil dikonsep dan dikembangkan dalam bentuk
rencana bisnis yang mendetail. Guru memiliki hal tersebut.
Guru
memiliki pengetahuan, dan mampu menggali beragam ide sesuai
kompetensinya. Guru menggunakan ‘kepalanya’ sebagai kekuatan utama.
Artinya, guru punya asset yang sangat potensial itu. Tinggal
menggunakannya.
2Pembicara handal
Kemampuan
guru dalam berbicara tak perlu diragukan. Bertahun-tahun ia yakinkan
siswanya dengan bahasa dan gaya tuturnya. Komunikasinya dalam
menyampaikan pesan, gagasan, dapat dikatakan cemerlang. Dalam masyarakat, kekuatan menyampaikan pesan secara benar dan tepat sangat dibutuhkan. Guru memiliki itu, tinggal dimanfaatkan.
3
. Menganalisa dan Menulis
Kemampuan
penunjang yang wajib dimiliki oleh guru adalah menganalisa dan menulis.
Bukankah ini juga adalah potensi yang sangat besar. Terlebih di era
informasi sekarang ini. Sehingga guru dapat memanfaatkan kompetensinya
itu sebagai penyumbang konten, tanpa harus mengkhianati profesinya
tersebut.
4
. Koneksi
Dalam
bisnis, koneksi atau link dianggap sebagai penunjang yang sangat
penting bagi keberhasilan. Di dunia hiburan, fans dianggap memilki arti
yang sangat signifikan bagi hidup matinya sang bintang. Perdagangan
apapun jenisnya, tetap membutuhkan pasar. Guru memiliki modal itu.
Seorang guru punya siswa, dan alumni yang jelas masih menaruh hormat,
dan mungkin simpati yang besar. Tinggal mengelola.
Apa
yang saya kemukakan adalah sebagian kecil yang dimiliki oleh guru, dan
tidak menyalahi kodratnya. Guru dapat menghidupi profesinya, dan terus
mengembangkan kompetensinya namun di sisi yang lain dirinya dihidupi
oleh kompetensinya itu. Alhasil, guru akan setia pada profesi pilihannya
tersebut. Mungkinkah?
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.