George McT.
Kahin1 mengatakan “Kekeliruan utama yang dibuat Belanda dalam usaha
menguasai Republik adalah salah perhitungan yang fundamental mengenai
watak Sultan Hamengku Buwono IX dari Yogyakarta.”2 Dengan sikap
non-kooperatifnya, Belanda tidak bisa berbuat banyak atas ibukota
Republik Indonesia (RI) di Yogyakarta. Belanda beranggapan, bahwa dengan
pendidikan Barat yang diperolehnya, beliau akan dengan mudah diajak
bekerjasama.
Agaknya
Belanda terlalu men”generalisir” pribadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX
dengan Sultan Hamid II, yang merupakan teman sekelas sewaktu
bersekolah.3 Akhirnya “generalisir” itu salah. Sebab, kedua Sultan
tersebut merupakan dua pribadi yang saling bertolak belakang pada masa
revolusi, sebagai golongan Federalis dan Republik.4
Sejak Yogyakarta menjadi ibukota RI pada 4 Januari 19465, peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX sangat menonjol, terutama pasca Agresi Militer Belanda jilid II. Ketika para pemimpin RI ditawan oleh Belanda, Republik di Yogyakarta tidak serta merta kehilangan sosok figur yang berwibawa.
Jika dalam kancah nasional masyarakat mengenal sosok Soekarno-Hatta sebagai “Dwi-tunggal”, di Yogyakarta masyarakat juga menganggap sosok itu melekat pada diri Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII. Kedua tokoh ini mempunyai peran besar terhadap keberlangsungan Republik di Yogyakarta.
Setidaknya ada dua peristiwa besar yang terjadi di Yogyakarta pasca Agresi Militer Belanda II. Kedua peristiwa tersebut menempatkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai tokoh utamanya. Peristiwa pertama adalah Serangan Umum 1 Maret 1949.6 Sedangkan yang kedua adalah “Pemerintahan Transisi RI” atau pemerintahan masa peralihan. Peristiwa pertama tidak akan dibahas dalam buku ini, sedangkan yang kedua merupakan bahasan dari buku ini.
Pasca Serangan Umum 1 Maret 1949, diplomasi RI mulai mendapatkan hasil yang signifikan. Belanda semakin terdesak karena argumen-argumennya mengenai RI tidak dapat dibuktikan lagi selama sidang di Dewan Keamanan PBB. Peristiwa itu akhirnya menggiring RI dan Belanda kembali ke jalur perundingan.7 Diawali dengan persetujuan Roem-Royen dan puncaknya pada Konferensi Meja Bundar (KMB).
Rentang waktu pasca Serangan Umum 1 Maret 1949 hingga pengakuan kedaulatan RI, masa inilah yang disebut sebagai masa transisi. Namun, pemerintahan transisi secara resmi baru dimulai pada 1 Mei 1949, setelah Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima mandat dari Presiden Soekarno untuk menerima kembali kekuasaan baik sipil maupun militer dari tangan Belanda. Pemerintahan transisi ini sebenarnya merupakan pelaksanaan dari hasil-hasil yang telah tertuang dalam persetujuan Roem-Royen. Pemerintahan ini berakhir pada 30 Juli 1949, setelah mandat yang diberikan kepada Sultan dicabut.8
Foto: Kitlv. nl |
Sejak Yogyakarta menjadi ibukota RI pada 4 Januari 19465, peran Sri Sultan Hamengku Buwono IX sangat menonjol, terutama pasca Agresi Militer Belanda jilid II. Ketika para pemimpin RI ditawan oleh Belanda, Republik di Yogyakarta tidak serta merta kehilangan sosok figur yang berwibawa.
Jika dalam kancah nasional masyarakat mengenal sosok Soekarno-Hatta sebagai “Dwi-tunggal”, di Yogyakarta masyarakat juga menganggap sosok itu melekat pada diri Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII. Kedua tokoh ini mempunyai peran besar terhadap keberlangsungan Republik di Yogyakarta.
Setidaknya ada dua peristiwa besar yang terjadi di Yogyakarta pasca Agresi Militer Belanda II. Kedua peristiwa tersebut menempatkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai tokoh utamanya. Peristiwa pertama adalah Serangan Umum 1 Maret 1949.6 Sedangkan yang kedua adalah “Pemerintahan Transisi RI” atau pemerintahan masa peralihan. Peristiwa pertama tidak akan dibahas dalam buku ini, sedangkan yang kedua merupakan bahasan dari buku ini.
Pasca Serangan Umum 1 Maret 1949, diplomasi RI mulai mendapatkan hasil yang signifikan. Belanda semakin terdesak karena argumen-argumennya mengenai RI tidak dapat dibuktikan lagi selama sidang di Dewan Keamanan PBB. Peristiwa itu akhirnya menggiring RI dan Belanda kembali ke jalur perundingan.7 Diawali dengan persetujuan Roem-Royen dan puncaknya pada Konferensi Meja Bundar (KMB).
Rentang waktu pasca Serangan Umum 1 Maret 1949 hingga pengakuan kedaulatan RI, masa inilah yang disebut sebagai masa transisi. Namun, pemerintahan transisi secara resmi baru dimulai pada 1 Mei 1949, setelah Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima mandat dari Presiden Soekarno untuk menerima kembali kekuasaan baik sipil maupun militer dari tangan Belanda. Pemerintahan transisi ini sebenarnya merupakan pelaksanaan dari hasil-hasil yang telah tertuang dalam persetujuan Roem-Royen. Pemerintahan ini berakhir pada 30 Juli 1949, setelah mandat yang diberikan kepada Sultan dicabut.8
Sumber - sumber :
1 Adalah peneliti yang sempat tinggal di Jogjakarta pada masa revolusi, antara 1948-1949, melejit lewat bukunya yang berjudul, Nasionalism and Revolution in Indonesia, (London: Cornell University Press, 1970).
2 George McT. Kahin, 1982, Sultan dan Belanda, Atmakusumah, penyunting, Tahta Untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hemengku Buwono IX, Jakarta: PT Gramedia, hlm. 172.
3 Mereka satu kelas ketika duduk di sekolah dasar Europe Lagere School di Yogyakarta. Ketika belajar di Belanda, Sultan HB IX memilih jurusan Indologi, sedangkan Sultan Hamid II mengambil jurusan Koninklijke Militaire Academie (KMA). Lihat Kustiyanti Mochtar, Pak Sultan dari Masa ke Masa, ibid., hlm. 30.
4 Golongan federalis dan republik merupakan istilah A.H. Nasution. Kaum federalis adalah mereka yang tunduk pada Belanda dengan negara-negara bonekanya, sedangkan kaum republik merupakan golongan nasionalis yang masih setia pada RI. Lihat A.H. Nasution, 1979, Sekitar Perang Kemerdekaan: jilid IX, Bandung: Angkasa, hlm. 166.
5 Karena pertimbangan keamanan Negara, maka ibukota RI dipindah ke Yogyakarta, dan berakhir pada 28 Desember 1949, pasca pengakuan kedaulatan oleh Ratu Belanda.
6 Pada awalnya, Serangan Umum 1 Maret diklaim merupakan ide Letkol Soeharto, namun sebagian besar masyarakat Yogyakarta meyakini ide itu muncul dari Sri Sultan HB IX. Pasca lengsernya Presiden Soeharto, gelombang aksi pelurusan sejarah SO 1 Maret 1949 semakin gencar disuarakan. Banyak buku-buku yang telah dirilis untuk meluruskannya. Sekarang sebagian besar masyarakat meyakini aktor intelektual SO 1 Maret 1949 adalah Sri Sultan HB IX.
7 Perundingan RI dan Belanda pasca Proklamasi telah beberapa kali ditandatangani, namun selalu kandas dengan agresi militer. Perjanjian Linggajati kandas oleh Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947, begitu pula Perjanjian Renville yang juga kandas oleh Agresi Militer Belanda jilid II pada 19 Desember 1948.
8 Penetapan Presiden No. 3 tanggal 30 Djuli 1949, Koesnodiprodjo, penghimpun, Undang2,Peraturan2, Penetapan2 Pemerintah Republik Indonesia 1949, hlm. 153, dalam Dr. P. J. Suwarno, S.H., 1994, Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: Sebuah Tinjauan Historis, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 25.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.