Besar dan kecilnya kekuatan gempa tidak selalu jadi ukuran tinggi atau rendahnya tsunami yang terjadi. Ilmuwan mengenal istilah tsunami earthquake yang gelombangnya bisa empat kali lebih tinggi dibandingkan tsunami dari gempa berkekuatan sama. Pantai barat Sumatera dan selatan Jawa ternyata rentan tsunami earthquake. Namun, sejauh ini masih jarang diteliti.
Istilah tsunami earthquake dimunculkan pertama kali oleh ahli seismologi dari Earthquake Research Institute (ERI), Tokyo University, Hiroo Kanamori, empat dekade lalu. Hal itu untuk membedakan dengan tsunami lain yang biasa terjadi. Tsunami kategori ini, gelombangnya di pantai beberapa kali lebih tinggi dibandingkan tsunami dari sumber gempa dengan magnitude relatif sama. Dalam laporan penelitiannya, Mechanism of Tsunami Earthquakes (1972), Kanamori menyebutkan, kesimpulan tentang anomali tsunami earthquake diperoleh setelah meneliti gempa di Sanriku, Jepang, pada 1896 dan Pulau Aleutian (Alaska, Amerika Serikat) pada 1946.
Kekuatan gempa di Sanriku, menurut analisis Kanamori, tergolong menengah, tetapi menimbulkan tsunami raksasa berketinggian 30 meter di Pulau Sanriku yang berjarak sekitar 200 kilometer dari pusat gempa. Sedikitnya 27.122 orang tewas. Adapun gempa di Aleutian pada 1946 menimbulkan salah satu tsunami terbesar di Pasifik dalam satu abad terakhir —data diperoleh sebelum tsunami Sendai, Maret 2011. Padahal, magnitude gempa yang menyebabkan tsunami, menurut data Gutenberg dan Richter (1954), hanya 7,4 M, berdurasi 20 detik. Kedua peristiwa ini memiliki kesamaan. Kekuatan gempanya relatif kecil. Namun, durasi terjadinya lama. Dampak tsunami juga sangat besar. ”Kami menyebut anomali ini sebagai tsunami earthquake,” katanya. Diam-Diam Mematikan Koordinator Tsunami Research Group-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (TRG-BPPT) Widjo Kongko mengatakan, tsunami earthquake bersumber dari gempa dangkal dengan kedalaman kurang dari 20 kilometer, lokasi sumber dekat palung samudra. Gempanya lambat dengan intensitas MMI II-IV sehingga tak begitu terasa oleh penduduk di pantai. Karakter gempa yang terasa lambat goyangannya ini menyebabkan masyarakat bisa salah persepsi, mengira tak bakal diikuti tsunami. Karena karakter gempa cenderung pelan dan lama, beberapa ahli lain sering menggunakan istilah slow-earthquake.
Widjo mengatakan, selain di Sanriku dan Aleutian, dalam 200 tahun terakhir, tsunami earthquake juga pernah melanda Simeulue, Aceh, pada 1907. Tsunami tahun itu menimbulkan banyak korban jiwa di Simeulue dan melahirkan istilah smong. Beberapa tsunami lain yang masuk kategori ini adalah tsunami yang melanda Peru pada 1960, Kurile Island (Rusia) tahun 1963 dan 1975, Nikaragua tahun 1992, Pulau Flores tahun 1992, serta selatan Jawa tahun 1994 dan 2006. Ahli tsunami dari Amalgamated Solution and Research, Gegar Prasetya, menambahkan, tsunami yang terjadi di Gisborne, Selandia Baru, tahun 1947 juga diidentifikasi sebagai slow-earthquake. ”Peristiwa ini umumnya terjadi karena ada formasi gunung bawah laut yang terbenam di zona subduksinya. Kondisi ini juga terlihat di Jawa bagian selatan dengan formasi Rho-rho Rise,” katanya. Widjo mengatakan, studi yang dilakukan dalam dekade akhir ini menunjukkan, sepanjang bagian barat wilayah Sumatera dan selatan Jawa merupakan daerah berpotensi terjadi tsunami earthquake. Tsunami yang melanda Mentawai pada 2010 juga bisa dikategorikan jenis ini.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa di Mentawai terjadi pada Senin (25/10/2010) berkekuatan 7,2 skala Richter dengan kedalaman 10 kilometer. Beberapa saat setelah gempa, Kepala Pusat Informasi Dini Tsunami dan Gempa Bumi BMKG Fauzi mengatakan, meski episentrum di zona penunjaman, tidak ada dislokasi permukaan dasar laut. Artinya, tidak berpotensi terjadi tsunami (Kompas, 26/10/2010). Belakangan diketahui, gempa tersebut ternyata mengakibatkan tsunami besar yang menewaskan lebih dari 1.200 warga Mentawai. Banyaknya korban jatuh, selain karena rapuhnya sistem mitigasi bencana, juga karena banyak warga tak mengira bahwa gempa malam itu akan disusul tsunami. Beberapa korban selamat mengatakan, gempa malam itu tak terlalu keras goyangannya walau durasinya lama. Akibatnya, warga tak segera mengungsi ke tempat aman. Karena sifatnya yang mematikan dan ancamannya yang kerap tidak disadari, menurut Widjo, ia dan kolega di komunitas tsunami menyebutnya stealth tsunami. Ini bersumber dari gempa dangkal dan lambat. Tsunami ini senyap, tetapi merupakan pembunuh yang efektif. Widjo menambahkan, gelombang yang diakibatkan oleh tsunami earthquake bisa dua hingga empat kali lipat tingginya dibandingkan gempa biasa. Untuk kasus tsunami Pangandaran pada 2006 yang dipicu gempa berkekuatan 7,7 M berdasarkan model untuk gempa biasa, tinggi tsunami 2 meter hingga 4 meter. Disarikan dari Kompas.com
Istilah tsunami earthquake dimunculkan pertama kali oleh ahli seismologi dari Earthquake Research Institute (ERI), Tokyo University, Hiroo Kanamori, empat dekade lalu. Hal itu untuk membedakan dengan tsunami lain yang biasa terjadi. Tsunami kategori ini, gelombangnya di pantai beberapa kali lebih tinggi dibandingkan tsunami dari sumber gempa dengan magnitude relatif sama. Dalam laporan penelitiannya, Mechanism of Tsunami Earthquakes (1972), Kanamori menyebutkan, kesimpulan tentang anomali tsunami earthquake diperoleh setelah meneliti gempa di Sanriku, Jepang, pada 1896 dan Pulau Aleutian (Alaska, Amerika Serikat) pada 1946.
Kekuatan gempa di Sanriku, menurut analisis Kanamori, tergolong menengah, tetapi menimbulkan tsunami raksasa berketinggian 30 meter di Pulau Sanriku yang berjarak sekitar 200 kilometer dari pusat gempa. Sedikitnya 27.122 orang tewas. Adapun gempa di Aleutian pada 1946 menimbulkan salah satu tsunami terbesar di Pasifik dalam satu abad terakhir —data diperoleh sebelum tsunami Sendai, Maret 2011. Padahal, magnitude gempa yang menyebabkan tsunami, menurut data Gutenberg dan Richter (1954), hanya 7,4 M, berdurasi 20 detik. Kedua peristiwa ini memiliki kesamaan. Kekuatan gempanya relatif kecil. Namun, durasi terjadinya lama. Dampak tsunami juga sangat besar. ”Kami menyebut anomali ini sebagai tsunami earthquake,” katanya. Diam-Diam Mematikan Koordinator Tsunami Research Group-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (TRG-BPPT) Widjo Kongko mengatakan, tsunami earthquake bersumber dari gempa dangkal dengan kedalaman kurang dari 20 kilometer, lokasi sumber dekat palung samudra. Gempanya lambat dengan intensitas MMI II-IV sehingga tak begitu terasa oleh penduduk di pantai. Karakter gempa yang terasa lambat goyangannya ini menyebabkan masyarakat bisa salah persepsi, mengira tak bakal diikuti tsunami. Karena karakter gempa cenderung pelan dan lama, beberapa ahli lain sering menggunakan istilah slow-earthquake.
Widjo mengatakan, selain di Sanriku dan Aleutian, dalam 200 tahun terakhir, tsunami earthquake juga pernah melanda Simeulue, Aceh, pada 1907. Tsunami tahun itu menimbulkan banyak korban jiwa di Simeulue dan melahirkan istilah smong. Beberapa tsunami lain yang masuk kategori ini adalah tsunami yang melanda Peru pada 1960, Kurile Island (Rusia) tahun 1963 dan 1975, Nikaragua tahun 1992, Pulau Flores tahun 1992, serta selatan Jawa tahun 1994 dan 2006. Ahli tsunami dari Amalgamated Solution and Research, Gegar Prasetya, menambahkan, tsunami yang terjadi di Gisborne, Selandia Baru, tahun 1947 juga diidentifikasi sebagai slow-earthquake. ”Peristiwa ini umumnya terjadi karena ada formasi gunung bawah laut yang terbenam di zona subduksinya. Kondisi ini juga terlihat di Jawa bagian selatan dengan formasi Rho-rho Rise,” katanya. Widjo mengatakan, studi yang dilakukan dalam dekade akhir ini menunjukkan, sepanjang bagian barat wilayah Sumatera dan selatan Jawa merupakan daerah berpotensi terjadi tsunami earthquake. Tsunami yang melanda Mentawai pada 2010 juga bisa dikategorikan jenis ini.
Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa di Mentawai terjadi pada Senin (25/10/2010) berkekuatan 7,2 skala Richter dengan kedalaman 10 kilometer. Beberapa saat setelah gempa, Kepala Pusat Informasi Dini Tsunami dan Gempa Bumi BMKG Fauzi mengatakan, meski episentrum di zona penunjaman, tidak ada dislokasi permukaan dasar laut. Artinya, tidak berpotensi terjadi tsunami (Kompas, 26/10/2010). Belakangan diketahui, gempa tersebut ternyata mengakibatkan tsunami besar yang menewaskan lebih dari 1.200 warga Mentawai. Banyaknya korban jatuh, selain karena rapuhnya sistem mitigasi bencana, juga karena banyak warga tak mengira bahwa gempa malam itu akan disusul tsunami. Beberapa korban selamat mengatakan, gempa malam itu tak terlalu keras goyangannya walau durasinya lama. Akibatnya, warga tak segera mengungsi ke tempat aman. Karena sifatnya yang mematikan dan ancamannya yang kerap tidak disadari, menurut Widjo, ia dan kolega di komunitas tsunami menyebutnya stealth tsunami. Ini bersumber dari gempa dangkal dan lambat. Tsunami ini senyap, tetapi merupakan pembunuh yang efektif. Widjo menambahkan, gelombang yang diakibatkan oleh tsunami earthquake bisa dua hingga empat kali lipat tingginya dibandingkan gempa biasa. Untuk kasus tsunami Pangandaran pada 2006 yang dipicu gempa berkekuatan 7,7 M berdasarkan model untuk gempa biasa, tinggi tsunami 2 meter hingga 4 meter. Disarikan dari Kompas.com
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.