Fenomena kemacetan dan kesemrawutan tidak hanya terjadi di Jakarta tetapi hampir merata di sejumlah wilayah Tanah Air, seolah-olah daerah-daerah itu tidak bisa merubah tata pandang (mindset) dalam meniru cara membangun Jakarta, sehingga virus kemacetan sebagai akibat mismanajemen (salah urus) pembangunan menyebar juga ke daerah-daerah.
Warga Indonesia terutama yang tinggal di kota-kota besar saat keluar rumah untuk beraktivitas merasakan betapa ramainya kendaraan bermotor (terutama sepeda motor) di jalan-jalan. Semakin banyak kendaraan bermotor di jalan-jalan membuat situasi demikian runyam.
Memang, pertumbuhan kendaraan bermotor di negeri ini meningkat pesat.
Saat ini saja jumlah kendaraan bermotor di Indonesia adalah yang terbanyak di ASEAN. Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia(Gaikindo) dan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) menunjukkan jumlah populasi kendaraan bermotor di Indonesia lebih dari 50.824.128 unit dan terus meningkat.
Namun, melimpahnya kendaraan bermotor bukan berarti menyenangkan karena pertumbuhan jalan Indonesia cuma 3-5% sementara pertumbuhan kendaraan bermotor melesat hingga 12% per-tahun. Anda bisa bayangkan apa yang akan terjadi 10-15 tahun yang akan datang betapa akan runyamnya persoalan berlalu lintas di jalan raya kita ini apabila sistem transportasi massal (angkutan umum) tidakberjalan dengan optimal dan memadai.
Banyaknya sepeda motor di jalan raya saja telah membuat angka kecelakaan lalu lintas tidak pernah menurun melainkan menaik terus. Wisatawan asing dari negara maju yg mengunjungi Indonesia terheran-heran dengan begitu banyaknya kendaraan sepeda motor berseliweran di jalan raya dengan zig-zag dan serobotan. Terkesan lalu lintas kita di mata mereka, yang di negerinya lalu lintas begitu tertib. Di Indonesia seperti tidak ada aturan, 'selonong boy' dan mau menangnya sendiri. Sungguh perilaku buruk dengan mentalitas yang tidak patut dalam menggunakan transportasi modern.
Jikalau pemerintah (pusat dan daerah) tidak memerhatikan dengan serius persoalan perlalulintasan, maka dalam dekade mendatang bisa dipastikan persoalan kesemrawutan lalu lintas di Indonesia akan semakin menjadi-jadi. Saat ini terkesan pejabat yang dipercaya rakyat mengelola negara menganggap enteng persoalan lalu lintas yang berpotensi kian kacau (chaos). Mungkin karena rata-rata pejabat kita tidak terbiasa naik angkutan umum ke kantor dan ke tempat lain. Biasanya sopir dan atau kawalan polisi yang telah siap membuat sang pejabat merasa nyaman di jalan.
Dalam mengatasi persoalan kepadatan lalu lintas di jalan-jalan paling tidak terdapat empat hal mendasar yang perlu diperhatikan pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah.
Pertama, biasakan pejabat daerah dan pusat (elite eksekutif dan legislatif) untuk naik angkutan umum. Kebiasaan ini perlu agar para elite lebih berempati pada persoalan rakyat sehari-hari dalam menggunakan angkutan umum.
Kedua, perbaiki sistem pelayanan publik dibidang transportasi umum di masing-masing daerah/kota sesuai dengan keunikannya. Dengan demikian tidak perlu daerah mengikuti cara Jakarta mengatasi kemacetan. Transjakarta dengan busway mungkin tepat untuk Jakarta tetapi belum tentu cocok untuk wilayah Yogyakarta. Taxi yang saat ini biasanya disewa oleh orang per orang mungkin bisa digunakan secara bersama asal satu tujuan.
Ketiga, rencana tata ruang wilayah (RTRW) masing-masing daerah mesti ditelaah secara sistematik dan sistemik. Sistematik dalam arti RTRW bersifat teratur dan tersusun dengan baik. Sistemik mengandung makna bahwa RTRW dapat berdampak pada persoalan lain seperti banjir dan kemacetan dikarenakan kekeliruan dan penyimpangan pelaksanaan RTRW. Misal, kawasan pendidikan semestinya terpisah, tidak boleh campur aduk dengan kawasan belanja (mal-pertokoan) dan perkantoran Kenyataan banyak bangunan didirikan yang bukan peruntukkannya.
Kasus DKI Jakarta yang sudah begitu padat dan penuh sesak itu perlu kiranya memindahkan sejumlah kantor pemerintahan yang terdapat ditengah kota. Di zaman orde baru dulu sudah terdengar kabar kawasan Sentul yang terletak diluar kota Jakarta itu akan dibuatkan kantor-kantor pemerintahan. Sedangkan bangunan kantor pemerintahan yang ditinggalkan di Jakarta itu dirobohkan untuk dijadikan taman-taman kota agar ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta bertambah. RTH di Jakarta masih minim sangat jauh dari ketentuan yang diatur Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengharuskan setiap wilayah termasuk Ibukota DKI Jakarta memiliki RTH minimum 30% dari luas wilayahnya.
Keempat, subsidi BBM cepat atau lambat mesti dialihkan untuk menyubsidi moda transportasi umum yang bermanfaat bagi rakyat banyak. Sistem angkutan umum perlu dilengkapi tidak hanya yang menggunakan jalan raya tetapi juga membangun sistem perkereta apian dalam kota seperti trem yang terhubung dengan transportasi Kereta Api.
Warga Indonesia terutama yang tinggal di kota-kota besar saat keluar rumah untuk beraktivitas merasakan betapa ramainya kendaraan bermotor (terutama sepeda motor) di jalan-jalan. Semakin banyak kendaraan bermotor di jalan-jalan membuat situasi demikian runyam.
Memang, pertumbuhan kendaraan bermotor di negeri ini meningkat pesat.
Saat ini saja jumlah kendaraan bermotor di Indonesia adalah yang terbanyak di ASEAN. Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia(Gaikindo) dan Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) menunjukkan jumlah populasi kendaraan bermotor di Indonesia lebih dari 50.824.128 unit dan terus meningkat.
Namun, melimpahnya kendaraan bermotor bukan berarti menyenangkan karena pertumbuhan jalan Indonesia cuma 3-5% sementara pertumbuhan kendaraan bermotor melesat hingga 12% per-tahun. Anda bisa bayangkan apa yang akan terjadi 10-15 tahun yang akan datang betapa akan runyamnya persoalan berlalu lintas di jalan raya kita ini apabila sistem transportasi massal (angkutan umum) tidakberjalan dengan optimal dan memadai.
Banyaknya sepeda motor di jalan raya saja telah membuat angka kecelakaan lalu lintas tidak pernah menurun melainkan menaik terus. Wisatawan asing dari negara maju yg mengunjungi Indonesia terheran-heran dengan begitu banyaknya kendaraan sepeda motor berseliweran di jalan raya dengan zig-zag dan serobotan. Terkesan lalu lintas kita di mata mereka, yang di negerinya lalu lintas begitu tertib. Di Indonesia seperti tidak ada aturan, 'selonong boy' dan mau menangnya sendiri. Sungguh perilaku buruk dengan mentalitas yang tidak patut dalam menggunakan transportasi modern.
Jikalau pemerintah (pusat dan daerah) tidak memerhatikan dengan serius persoalan perlalulintasan, maka dalam dekade mendatang bisa dipastikan persoalan kesemrawutan lalu lintas di Indonesia akan semakin menjadi-jadi. Saat ini terkesan pejabat yang dipercaya rakyat mengelola negara menganggap enteng persoalan lalu lintas yang berpotensi kian kacau (chaos). Mungkin karena rata-rata pejabat kita tidak terbiasa naik angkutan umum ke kantor dan ke tempat lain. Biasanya sopir dan atau kawalan polisi yang telah siap membuat sang pejabat merasa nyaman di jalan.
Dalam mengatasi persoalan kepadatan lalu lintas di jalan-jalan paling tidak terdapat empat hal mendasar yang perlu diperhatikan pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah.
Pertama, biasakan pejabat daerah dan pusat (elite eksekutif dan legislatif) untuk naik angkutan umum. Kebiasaan ini perlu agar para elite lebih berempati pada persoalan rakyat sehari-hari dalam menggunakan angkutan umum.
Kedua, perbaiki sistem pelayanan publik dibidang transportasi umum di masing-masing daerah/kota sesuai dengan keunikannya. Dengan demikian tidak perlu daerah mengikuti cara Jakarta mengatasi kemacetan. Transjakarta dengan busway mungkin tepat untuk Jakarta tetapi belum tentu cocok untuk wilayah Yogyakarta. Taxi yang saat ini biasanya disewa oleh orang per orang mungkin bisa digunakan secara bersama asal satu tujuan.
Ketiga, rencana tata ruang wilayah (RTRW) masing-masing daerah mesti ditelaah secara sistematik dan sistemik. Sistematik dalam arti RTRW bersifat teratur dan tersusun dengan baik. Sistemik mengandung makna bahwa RTRW dapat berdampak pada persoalan lain seperti banjir dan kemacetan dikarenakan kekeliruan dan penyimpangan pelaksanaan RTRW. Misal, kawasan pendidikan semestinya terpisah, tidak boleh campur aduk dengan kawasan belanja (mal-pertokoan) dan perkantoran Kenyataan banyak bangunan didirikan yang bukan peruntukkannya.
Kasus DKI Jakarta yang sudah begitu padat dan penuh sesak itu perlu kiranya memindahkan sejumlah kantor pemerintahan yang terdapat ditengah kota. Di zaman orde baru dulu sudah terdengar kabar kawasan Sentul yang terletak diluar kota Jakarta itu akan dibuatkan kantor-kantor pemerintahan. Sedangkan bangunan kantor pemerintahan yang ditinggalkan di Jakarta itu dirobohkan untuk dijadikan taman-taman kota agar ruang terbuka hijau (RTH) di Jakarta bertambah. RTH di Jakarta masih minim sangat jauh dari ketentuan yang diatur Undang-Undang nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang mengharuskan setiap wilayah termasuk Ibukota DKI Jakarta memiliki RTH minimum 30% dari luas wilayahnya.
Keempat, subsidi BBM cepat atau lambat mesti dialihkan untuk menyubsidi moda transportasi umum yang bermanfaat bagi rakyat banyak. Sistem angkutan umum perlu dilengkapi tidak hanya yang menggunakan jalan raya tetapi juga membangun sistem perkereta apian dalam kota seperti trem yang terhubung dengan transportasi Kereta Api.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Note: Only a member of this blog may post a comment.