Akhirnya setelah melalui proses yang panjang akhirnya saya bisa bertemu dengan mbah Slamet Sudiro, sang masinis dalam tragedi tabrakan kereta api di Bintaro pada 19 Oktober 1987. Keriput
kulit wajahnya, menunjukkan usianya sudah sepuh. Matanya juga mulai
mengapur sehingga membuat dia tak lagi jelas melihat. Jalannya pun sudah
lambat sempoyongan. Kendati begitu ingatan Slamet Suradio (74)
masih tajam. Terutama untuk mengingat peristiwa nahas 25 tahun silam,
masih sangat detail dia mampu menceritakannya. Tragedi pagi Senin Pon,
19 Oktober 1987 pukul 07.30 yang mengantarkannya dalam ruang kenestapaan, kesedihan, dan kesengsaraan hidup.
Ya, dialah masinis kereta KA 225 yang bertabrakan dengan KA 220 hingga akhirnya menewaskan 139 orang dan 300 orang lebih luka-luka. Kejadian itu tercatat sebagai peristiwa terburuk dalam sejarah perkeretapian di Indonesia. Cerita kehidupan Slamet ini bisa jadi merupakan potret betapa buramnya nasib masinis kereta api yang kerap menjadi pihak yang paling disalahkan dan harus bertanggung jawab dari setiap kecelakaan kereta api.
”Tragedi itu terus menghantui kehidupan saya. Tidak ada yang menghendaki kecelakaan itu terjadi, termasuk saya. Tapi itulah tanda kebesaran Allah yang Maha menguasai segala takdir kehidupan hamba-Nya,” ujar warga yang menempati rumah tak layak huni di RT 02 RW 02 Dusun Krajan Kidul, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang.
Cerita ketidakadilan yang dia rasakan dimulai persis setelah tragedi 1987 tersebut. Dia yang saat itu juga mengalami luka parah, awalnya dirawat di Rumah Sakit (RS) Pelni. Selanjutnya, dipindahkan ke RS Cipto. Di sinilah dia sempat akan diculik oleh keluarga korban karena dianggap paling bersalah menyebabkan ratusan orang tewas.
Selanjutnya dia dipindahkan ke RS Kramatjati. Selama tiga bulan dirawat di ICU, dia mulai disidik aparat kepolisian. Dalam perjalanan kasus yang dialaminya, Slamet merasa ada konspirasi untuk menimpakan semua kesalahan kepada pegawai rendahan seperti dirinya. ”Akhirnya dalam persidangan saya divonis lima tahun penjara dari tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) selama 14 tahun penjara. Vonis itu dikuatkan sampai pengadilan tingkat kasasi,” ujarnya.
Istri Direbut Teman Pada saat menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, dia kembali merasa mendapatkan ketidakadilan. Istri tercintanya, Kasni meninggalkannya termasuk anak-anaknya yang tidak lagi peduli dengan nasibnya. ”Istri saya direbut oleh teman saya yang juga masinis. Sakit rasanya hati saya,” ucapnya lirih.
Setelah menjalani hukuman selama 3,5 tahun,Slamet dibebaskan. Sekitar April 1994 dia keluar penjara dan kembali masuk kerja. Namun, sehari-hari dia hanya apel saja karena setelah kejadian itu dia dibebas tugaskan dari posisinya sebagai masinis kereta.
Dipecat Dari Pekerjaannya
Seperti petir di siang bolong, laki-laki lulusan SLTP kelahiran Purworejo 18 Agustus 1939 ini kembali merasa diperlakukan tidak adil. Sekitar tahun 1996, Nomor Induk Pegawainya (NIP) 120035237 dicabut. Ironisnya dia diberhentikan dengan tidak hormat yang mendasarkan pada tragedi kecelakaan Bintaro.
Sempat bertahan di Jakarta beberapa saat, akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Purworejo. Dia yang tidak lagi punya saudara akhirnya diajak menikah oleh istrinya sekarang, Tuginem (45) yang memang telah memiliki gubuk seadanya. Dari pernikahan itu, dia dikarunia tiga orang anak. Yaitu Untung Sariono (16), Suroso (14), dan Safitri (9).
Setelah menetap di Purworejo, Slamet yang oleh warga sekitar akrab disapa Mbah Slamet berjualan rokok keliling di sekitar Perempatan BRI Kutoarjo.
Tempat jualannya itu jaraknya sekitar 17 km dari rumah tinggalnya. Awal-awal dia masih mampu mengayuh sepeda ontel untuk pergi bekerja. Namun belakangan matanya sudah tidak lagi jelas melihat, akhirnya dia memilih naik angkutan.
Jangan dibayangkan dagangan Mbah Slamet banyak. Di sebuah kantong plastik warna hitam, hanya ada belasan batang rokok yang ditaruhnya di beberapa bungkus, supaya terlihat banyak. Keuntungan yang diperolehnya sehari-hari hanya berkisar Rp 5.000. ”Mau bagaimana lagi, hanya (pekerjaan) ini yang bisa saya lakukan,” akunya.
Di usianya yang memasuki kepala delapan, dia merasa hidupnya sudah tidak lama lagi. Tapi hatinya tidak tenang karena tidak ada sesuatu yang bisa ditinggalkan untuk istri dan ketiga anak. Satu-satunya harapan hanya adanya mukjizat uang pensiun yang bisa diwariskan kepada keluarganya. ”Rasanya saya tidak bisa mati kalau uang pensiun itu tidak diberikan,” ujarnya membuat bulu kuduk merinding.
Ya, dialah masinis kereta KA 225 yang bertabrakan dengan KA 220 hingga akhirnya menewaskan 139 orang dan 300 orang lebih luka-luka. Kejadian itu tercatat sebagai peristiwa terburuk dalam sejarah perkeretapian di Indonesia. Cerita kehidupan Slamet ini bisa jadi merupakan potret betapa buramnya nasib masinis kereta api yang kerap menjadi pihak yang paling disalahkan dan harus bertanggung jawab dari setiap kecelakaan kereta api.
”Tragedi itu terus menghantui kehidupan saya. Tidak ada yang menghendaki kecelakaan itu terjadi, termasuk saya. Tapi itulah tanda kebesaran Allah yang Maha menguasai segala takdir kehidupan hamba-Nya,” ujar warga yang menempati rumah tak layak huni di RT 02 RW 02 Dusun Krajan Kidul, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang.
Cerita ketidakadilan yang dia rasakan dimulai persis setelah tragedi 1987 tersebut. Dia yang saat itu juga mengalami luka parah, awalnya dirawat di Rumah Sakit (RS) Pelni. Selanjutnya, dipindahkan ke RS Cipto. Di sinilah dia sempat akan diculik oleh keluarga korban karena dianggap paling bersalah menyebabkan ratusan orang tewas.
Selanjutnya dia dipindahkan ke RS Kramatjati. Selama tiga bulan dirawat di ICU, dia mulai disidik aparat kepolisian. Dalam perjalanan kasus yang dialaminya, Slamet merasa ada konspirasi untuk menimpakan semua kesalahan kepada pegawai rendahan seperti dirinya. ”Akhirnya dalam persidangan saya divonis lima tahun penjara dari tuntutan yang diajukan jaksa penuntut umum (JPU) selama 14 tahun penjara. Vonis itu dikuatkan sampai pengadilan tingkat kasasi,” ujarnya.
Istri Direbut Teman Pada saat menjalani hukuman di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang, dia kembali merasa mendapatkan ketidakadilan. Istri tercintanya, Kasni meninggalkannya termasuk anak-anaknya yang tidak lagi peduli dengan nasibnya. ”Istri saya direbut oleh teman saya yang juga masinis. Sakit rasanya hati saya,” ucapnya lirih.
Setelah menjalani hukuman selama 3,5 tahun,Slamet dibebaskan. Sekitar April 1994 dia keluar penjara dan kembali masuk kerja. Namun, sehari-hari dia hanya apel saja karena setelah kejadian itu dia dibebas tugaskan dari posisinya sebagai masinis kereta.
Dipecat Dari Pekerjaannya
Seperti petir di siang bolong, laki-laki lulusan SLTP kelahiran Purworejo 18 Agustus 1939 ini kembali merasa diperlakukan tidak adil. Sekitar tahun 1996, Nomor Induk Pegawainya (NIP) 120035237 dicabut. Ironisnya dia diberhentikan dengan tidak hormat yang mendasarkan pada tragedi kecelakaan Bintaro.
Sempat bertahan di Jakarta beberapa saat, akhirnya dia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Purworejo. Dia yang tidak lagi punya saudara akhirnya diajak menikah oleh istrinya sekarang, Tuginem (45) yang memang telah memiliki gubuk seadanya. Dari pernikahan itu, dia dikarunia tiga orang anak. Yaitu Untung Sariono (16), Suroso (14), dan Safitri (9).
Setelah menetap di Purworejo, Slamet yang oleh warga sekitar akrab disapa Mbah Slamet berjualan rokok keliling di sekitar Perempatan BRI Kutoarjo.
Tempat jualannya itu jaraknya sekitar 17 km dari rumah tinggalnya. Awal-awal dia masih mampu mengayuh sepeda ontel untuk pergi bekerja. Namun belakangan matanya sudah tidak lagi jelas melihat, akhirnya dia memilih naik angkutan.
Jangan dibayangkan dagangan Mbah Slamet banyak. Di sebuah kantong plastik warna hitam, hanya ada belasan batang rokok yang ditaruhnya di beberapa bungkus, supaya terlihat banyak. Keuntungan yang diperolehnya sehari-hari hanya berkisar Rp 5.000. ”Mau bagaimana lagi, hanya (pekerjaan) ini yang bisa saya lakukan,” akunya.
Di usianya yang memasuki kepala delapan, dia merasa hidupnya sudah tidak lama lagi. Tapi hatinya tidak tenang karena tidak ada sesuatu yang bisa ditinggalkan untuk istri dan ketiga anak. Satu-satunya harapan hanya adanya mukjizat uang pensiun yang bisa diwariskan kepada keluarganya. ”Rasanya saya tidak bisa mati kalau uang pensiun itu tidak diberikan,” ujarnya membuat bulu kuduk merinding.
Update 2019, Mbah Slamet Suradio Kini Punya Warung Di Rumah
Akun The Lost Book @KisahTanahJawa pada 05 Desember 2019 men tweet kediaman mbah Slamet Suradio di RT 02 RW 02 Dusun Krajan Kidul, Desa Gintungan, Kecamatan Gebang. Beliau adalah masinis KA yang terlibat kecelakaan di Bintaro pada 19 Oktober 1987. Saat ini beliau sudah bisa menikmati hari tuanya di rumah yang juga dilengkapi warung hasil donasi dari kitabisa.com dan juga dari The Lost Book.
Bahkan, mereka telah mengecek warung, serta berkoordinasi untuk renovasi makam kedua orang tua beliau beserta orang tua istrinya. Tidak hanya itu, mereka berdiskusi untuk persiapan keberangkatan umroh beliau yang rencananya paling cepat bulan januari 2020 nanti.
Next
« Prev Post Previous
Next Post »
« Prev Post Previous
Next Post »
Peristiwa bermula atas kesalahan kepala Stasiun Serpong memberangkatkan KA 225 ke Stasiun Sudimara, tanpa mengecek kepenuhan jalur KA di Stasiun Sudimara. Sehingga, ketika KA 225, jurusan Rangkasbitung-Jakarta Kota, tiba di Stasiun Sudimara pada pukul 06.45 WIB, stasiun Sudimara yang punya 3 jalur saat itu penuh dengan KA.
ReplyDeleteJalur 1: KA 225
Jalur 2: KA Indocement hendak ke arah Jakarta juga
Jalur 3: Gerbong tanpa lokomotif
KA 225 sedianya bersilang dengan KA 220 Patas di Stasiun Kebayoran yang hendak ke Merak. Itu berarti KA 220 Patas di stasiun Kebayoran harus mengalah, namun PPKA Stasiun Kebayoran tidak mau mengalah dan tetap memberangkatkan KA 220. PPKA Stasiun Sudimara pun lantas memerintahkan juru langsir untuk melangsir KA 225 masuk jalur 3. Saat akan dilangsir, masinis tidak dapat melihat semboyan yang diberikan, karena penuhnya lokomotif pada saat itu. Kemudian, masinis bertanya kepada penumpang yang berada di lokomotif, "Berangkat?" Maka penumpang itu pun menjawab, "Berangkat!"
Masinis pun membunyikan semboyan 35 dan berjalan. Juru langsir yang kaget mengejar kereta itu dan naik di gerbong paling belakang. Para petugas stasiun kaget, beberapa ada yang mengejar kereta itu menggunakan sepeda motor. PPKA Sudimara, Djamhari, mencoba memberhentikan kereta dengan menggerak-gerakkan sinyal, namun tidak berhasil. Dia pun langsung mengejar kereta itu dengan mengibarkan bendera merah. Namun sia-sia, Djamhari pun kembali ke stasiun dengan sedih, dia membunyikan semboyan genta darurat kepada penjaga perlintasan Pondok Betung. Tetapi kereta tetap melaju. Setelah diketahui, ternyata penjaga perlintasan Pondok Betung tidak hafal semboyan genta.
KA 220 berjalan dengan kecepatan 25 km/jam karena baru melewati perlintasan, sedangkan KA 225 berjalan dengan kecepatan 30 km/jam. Dua kereta api yang sama-sama sarat penumpang, Senin pagi itu bertabrakan di tikungan S ±km 18,75. Kedua kereta hancur, terguling, dan ringsek. Kedua lokomotif dengan seri BB303 16 dan BB306 16 rusak berat. Jumlah korban jiwa 156 orang, dan ratusan penumpang lainnya luka-luka.
Sanksi atas kelalaian pihak yang terlibat
Akibat tragedi tersebut, sang masinis KA 225, Slamet Suradio, diganjar 5 tahun kurungan. Ia juga harus kehilangan pekerjaan, sehingga ia memilih pulang ke kampung halamannya, menjadi petani di Purworejo, kini menjadi penjual rokok di Kutoarjo. Sebelumnya, dia telah berkarya selama 20 tahun di PJKA. Nasib yang serupa juga menimpa Adung Syafei, kondektur KA 225. Dia harus mendekam di penjara selama 2 tahun 6 bulan. Sedangkan Umrihadi (Pemimpin Perjalanan Kereta Api, PPKA, Stasiun Kebayoran Lama) dipenjara selama 10 bulan
Makasih informasinya
ReplyDelete